Catatan Pemikiran dan Refleksi

Wednesday, December 30, 2009

Posted by dg situru' | Wednesday, December 30, 2009 | 1 comment
Luar biasa …………………………… itulah mungkin ungkapan yang pantas menggambarkan apresiasiku atas film “Laskar Pelangi”. Sebuah film yang cukup fantastis. Film yang cukup bermutu bagi anak-anak dan orang tua. Cukup inspiratif dan mengajarkan banyak hal, terutama kepada anak-anak muda. Aku baru nonton, karena harus ngantri lama, kemarin dapat tiket, karena ada lebih memerlukan ya ga apa-apalah.

Karya Riri Riza ini cukup baik momotret bagaimana kondisi kemiskinan di pabrik-pabrik timah di Belitong. Strata sosial yang begitu menganga. Barangkali inilah potret yang terjadi pada Freeport di Papua, Chevron di Riau, Aceh dan di pabrik-pabrik lainnya di seluruh pelosok negeri. Anak-anak negeri tidak mampu mereguk kekayaan alamnya.


Mereka terstrata menjadi susunan-susunan sosial yang susah dipahami oleh akal manusia. Seorang anak tidak boleh bergaul sesama anak manusia lainnya, hanya karena ia bukan bagian dari pabrik Timah itu. Sangat menjijikkan.

Dalam soal pendidikan, film ini begitu menohok kritiknya. “Muslimah, pendidikan itu bukan soal material semata, tapi ahlak dan inilah satu-satunya sekolah Islam di Belitong yang mengajarkan kejujuran dan moral” ujar Pak Harfan, sang kepala sekolah SD Muhammadiyah Gantong. Jadi sangat jelas, pendidikan itu bukan soal angka 8 dan 9, tapi nilai kejujuran. Ini kritik yang kaya dengan makna. Sebuah perlawanan terhadap Ujian Nasional yang dianjurkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, yang katanya Mentrinya orang Muhammadiyah, tapi tidak memahami falsafah dan makna pendidikan Muhammadiyah.

Laskar pelangi telah mengajarkan kepada kita semua. Betapa kecerdasan itu tidak tunggal. Mahar boleh memiliki suara dan intuisi seni yang baik, harun, trapani, ikal dan lintang yang memiliki kecerdasan matematis. Itulah makna terpenting manusia dengan sejuta potensi yang melekat padanya. Tetapi dengan enaknya saja Depdiknas telah membuat penyeragaman kecerdasan lewat ujian nasional. Sungguh ironis. Aku tak mengerti bagaimana mereka mengurus pendidikan.

Di wajah anak-anak miskin itu, juga ada cinta. Ada romantisme, mistik yang merupakan bagian dari hidup dan sekaligus kelemahan manusia. Banyak pelajaran penting yang bisa di maknai dari proses itu. Walau pun film dan novelnya bukanlah sebuah sastra murni yang mengandalkan imajinasi. Tetapi ini menceritakan suatu fenomena kemanusian, suatu yang rill dan benar-benar terjadi di pelosok negeri ini. Mungkin ini hanyalah sedikit dari banyak kasus-kasus serupa.

Banyak lintang-lintang yang lain di sudut-sudut negeri, di ujung pulau di batas-batas cakrawala. Tugas kemanusiaan kita adalah bagaimana memberi ruang dan apresiasi yang sebaik-baiknya bagi mereka. Selamat menonton, dan tangkaplah maknanya.

1 comment:

  1. Betul Mas, aku setuju. Pendidikan jangan berorientasi kepada nilai, tapi berorientasilah pada pemahaman materi. Bila materi terkuasai/terpahami, maka nilai akan mengikuti. Betul Mas, kecerdasan tidak hanya matematis, banyak kecerdasan-kecerdasan lain yang tidak dapat diukur dengan angka.

    asis-edutainment.blogspot.com

    ReplyDelete

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter