Catatan Pemikiran dan Refleksi

Tuesday, August 10, 2010

Posted by dg situru' | Tuesday, August 10, 2010 | No comments
Salah satu konsepsi penting yang dilahirkan dari Semiloka Kader tahun 2002 di Makassar ialah pendampingan. Konsep pendampingan dalam konstruksi semiloka kader Makassar merupakan satu bangunan dengan fasilitator. Dalam sistem perkaderan IPM disebut dengan pelatihan fasilitator dan pendampingan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia fasilitator diartikan sebagai orang yang menyediakan fasilitas. Dalam konteks pelatihan maka, fasilitator berfungsi melancarkan proses belajar, menyediakan informasi baru, dan memperkaya pengalaman peserta. Sementara pendampingan berarti menemani atau menyertai peserta dampingan dari dekat. Dalam konteks pemberdayaan pendampingan berarti pola dukungan. Bentuknya seperti dukungan personil, tenaga pendamping, relawan atau pihak lain yang memberikan penerangan, dukungan teknis, dan penyadaran.

Sejak dirumuskan di Makassar tahun 2002 yang lalu, konsepsi pendampingan tidak pernah lagi dibicarakan. Padahal, konsepsi tersebut masih bersifat umum. Sehingga tidak bisa dilaksanakan oleh struktur IPM diberbagai level pimpinan atau ditingkat komunitas. Tahun 2007 ketika saya ditunjuk sebagai tim materi konferensi pimpinan wilayah (Konpiwil) saya mengusulkan sebuah draft format pendampingan pelajar Muhammadiyah dan sepakati oleh tim materi dan disahkan diforum tersebut.

Pemikiran tersebut berangkat dari fenomena pelajar yang semakin tenggelam dalam budaya massa yang begitu kompleks. Kompleksitas problematika ini, terletak tidak sekedar pada segi perkembangan masa transisi secara psikologis, melainkan juga proses kecenderungan peta budaya dan tata kehidupan yang begitu sarat dengan pragmatisme dan materialisme.

Putaran arus budaya menyebabkan pelajar mempunyai keterpecahan peta yang sungguh deskriminatif. Mereka yang menengah keatas, akan bergulat dengan segala kecenderungan gaya hidup jet set yang bergelimangan dengan keglamaouran alam pikir party dan mall. Sedangkan mereka yang menengah kebawah, harus dihadapkan pada tantangan kapitalisasi di segala sektor yang akan mempersempit ruang hidup mereka, termasuk studi, dan berbagai ancaman serius tantangan kerja (Purwono Nugroho Adhi, 2010).

Dalam peta sosiobudaya itu maka, posisi pelajar diperhadapkan pada persoalan yang begitu kompleks dan pilihan pendampingan menjadi sangat strategis. Pendampingan yang dilakukan tidak sebagai hal yang sifatnya reaksioner, tetapi diprogram secara berkelanjutan, visioner dan integrativ. Pendampingan juga tidak sekedar memikirkan bagaimana membetuk kader semata, tetapi memproses sampai kepada upaya pengelolaan yang bersifat berkesinambugan dan dihidupi di tingkat basis.

Paradigma Pendampingan
Kenapa IPM menggunakan istilah pendampingan? Bukan pembinaan, atau mentoring! Pilihan terma itu bukan tanpa alasan. Tetapi merupakan konsekuensi atas pilihan paradigmatik IPM sebagai gerakan kritis dengan visi transformatif. Hulu dari pemikiran ini berasal dari pemikiran pendidikan kritis yang dikembangkan oleh Poulo Freire.

Terminologi pembinaan, mentoring dan pendampingan secara ideologi sangat berbede. Membina merupakan terminologi pembangunan (developmentalism) yang sangat akrab di rezim otoriter Soeharto. Pembinaan dalam konteks ideologi pembangunan mengandung makna menguasai dan dikuasai. Komunitas atau pun kelompok dalam konteks pembinaan berarti ia sedang dikuasai oleh yang membina. Sedangkan pendampingan lebih kearah proses bersama, tumbuh dan sadar bersama; baik secara ekonomi, sosial dan politik. Sementara itu, mentoring lebih akrab dalam konteks tumbuhnya gerakan baru Islam di Indonesia awal tahun 1980-an. Walau pun sejatinya makna mentoring lebih pas kalau dikonotasikan pada sifat keprofesian sebagaimana lazim dalam sebuah group usaha.

Dalam bukunya - The Pedagogy of the Oppressed - yang terkenal itu, Freire mengungkapkan sebuah teori yang dalam lingkungan IPM sudah sangat akrab, yaitu teori konsientisasi. Menurut teori konsientisasi, seorang pendidik harus menggunakan dialog dan kata-kata kunci yang memiliki makna yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek.

Agus Nuryatno – dosen FAI UII – ketika menjadi fasilitator diskusi rutin PP IPM (waktu itu masih IRM), di Kantor PP IPM, Jl K.H. Ahmad Dahlan 103 ia menerangkan bahwa untuk sampai ke titik penyadaran itu maka, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan sekaligus: pertama, meningkatkan kesadaran kritis peserta didik. Kedua, berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung.

Pada konteks itu maka penggunaan terma pendampingan menemukan relefansi teoritik dan praksisnya. Jadi pendampingan merupakan proses dimana fasilitator (pendamping) dan komunitas dampingannya bersama-sama berproses membangun kesadaran kritis bersama sekaligus berupaya mentransformasikan diri dan kelompoknya menuju sebuah ruang (struktur) baru yang lebih adil.

Tugas Pendamping Komunitas
Menurut Suharto (2005) tugas pendamping: Pertama, pemungkinan (enabling). Dalam fungsi ini, tugas seorang pendamping antara lain ialah menjadi model (uswah), melakukan mediasi dan negosiasi, membangun kesepahaman bersama, dan mengelola sumberdaya bersama. Kedua, penguatan (capacity building). Fungsi ini berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas komunitas. Pendamping berperan aktif dalam sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif. Membangkitkan kesadaran komunitas, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, dan menyelenggarakan pelatihan bagi komunitas adalah beberapa yang berkaitan dengan fungsi penguatan. Sedangkan pertukaran informasi (sharing) pada dasarnya merupakan bentuk pendidikan.

Ketiga, perlindungan (protection). Fungsi ini berkaitan dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan komunitas dampingannya. Seorang pendamping dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan (advocacy), menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja.

Keempat, pendukungan (mobilization). Fungsi mobilisasi dalam konteks ini berkaitan dengan fungsi pendamping yang dituntut tidak hanya mampu menjadi manajer perubahan yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar: seperti melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi (public relation), bernegosiasi, berkomunikasi, dan mencari serta mengatur sumber dana (fundraising).

Aspek-Aspek Pengembangan Peserta Dampingan
Aspek pengembangan peserta dampingan komunitas meliputi hal-hal sebagai berikut:













Proses Pendampingan
A.    Bentuk Pendampingan
Proses pendampingan dilakukan melalui kelompok-kelompok kecil (komunitas/jama’ah). Setiap komunitas sebaiknya terdiri dari 5-7 orang demi efektivitas pendampingan. Setiap komunitas akan didampingi oleh 1 orang pendamping (fasilitator).

B.     Tujuan Pendampingan
ü  Memperkuat kelembagaan komunitas (jama’ah), khususnya pelajar Muhammadiyah, sehingga mereka dan lembaganya (ranting/jama’ah/kelompok/komunitas) menjadi penggerak aktivitas IPM.
ü  Membangun solidaritas dan ukhuwah sesama anggota komunitas/jama’ah.
ü  Tumbuhnya kesadaran ideologi peserta dampingan.

C.    Sifat Pendampingan
Pendampingan bersifat fleksibel, cair, dan tidak kaku (saklek) dengan tidak melupakan goal setting pendampingan.

D.     Prinsip-Prinsip Pendampingan
Ada beberapa prinsip-prinsip penting dalam pendampingan komunitas sebagai berikut:
  1. Pemberdayaan (Empowering).
Pemberdayaan diartikan sebagai pengembangan konsep diri agar lebih positif, serta konstruksi pemahaman yang lebih kritis dan analitis mengenai kondisi lingkungan sekitar. Dalam hal ini komunitas dalam menjalankan aktivitasnya mencoba berpijak pada aktivitas “pemberdayaan” bukan melakukan “penjinakan” atau “pembodohan” apalagi “penindasan” baik secara fisik maupun psikis.

  1. Kesetaraan
Kesetaraan dimaknai sebagai adanya ruang kebebasan secara bersama dimana dalam komunitas memiliki hak-hak dan kewajiban yang tidak dibeda-bedakan. Artinya masing-masing anggota komunitas memiliki posisi yang setara dalam kelompok.

  1. Partisipasi (Participation).
Partisipasi diartikan sebagai proses keikutsertaan untuk ambil bagian. Partisipasi ini adalah sebuah kemutlakan bagi setiap warga komunitas. Hal ini akan berimplikasi terhadap penganutan azas egaliterianisme dalam menjalankan komunitas. Dalam bahasa Freire-an terkenal adagium : Semua Orang adalah Guru dan Semua Orang adalah Murid.

  1. Aktivitas (Activity).
Pendampingan dalam komunitas meniscayakan adanya aktivitas sebagai prosesi pencapaian goal setting. Aktivitas dalam komunitas dapat dirumuskan oleh warga komunitas itu sendiri (Fasilitator dan Peserta). Aktivitas tersebut hendaknya merupakan aktivitas yang kreatif dan inovatif serta memiliki keberlanjutan (dilakukan secara rutin) demi pencapaian tujuan dan target pendampingan.

E.      Metode dan Teknik Pendampingan
Metode yang dikembangkan dalam aktivitas pendampingan antara lain adalah:
1)      Koordinasi dialogis dengan pendekatan andragogi (pembelajaran untuk orang dewasa) koordinasi diselenggarakan melalui komunikasi dialogis dengan mengedepankan pertukaran ide, pikiran, dan gagasan secara demokratis berdasarkan prinsip pembelajaran untuk orang dewasa.
2)      Partisipatif melalui model diskusi kelompok terarah (focus group discussion). Pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif sehingga tercapai suasana demokratis dan kesetaraan sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk mengatasi permasalahannya.
3)      Demokratis, keterbukaan dan bertanggungjawab.
4)      Pendekatan Sosio-Teknis dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, memperhatikan aspek soaial dan teknik yang sudah berlaku dan dilaksanakan masyarakat setempat.
5)      Pendekatan Budaya setempat dan lingkungan. Dalam proses pendampingan perlu dipertimbangkan aspek lingkungan dan budaya setempat


F.    Fase Pendampingan
Melakukan pendampingan tidak bisa dilaksanakan secara instant, tetapi melalui sebuah proses (fase). Lebih lengkap fase-fase pendampingan tersebut dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Ruslan (2006) menawarkan tahapan lain dalam pelaksanaan pendampingan. Tahapan tersebut adalah :

1) Pengenalan kebutuhan komunitas/jama’ah.
Sebelum dilakukan pendampingan ditingkat jama’ah atau komunitas maka, harus terlebih dahulu dilakukan assessment kebutuhan kelompok. Assessment (pengenalan kebutuhan) komunitas diperlukan untuk mengetahui apa yang diperlukan oleh komunitas calon dampingan sehingga kegiatan yang dilakukan tidak sia-sia dan dapat memberi mamfaat bagi komunitas.

2) Rekruitmen Pendamping
Untuk mencapai tujuan pendampingan, maka ketersediaan sumberdaya fasilitator yang memiliki pengetahuan, attitude dan keterampilan sangat penting artinya. Fasilitator pendamping merupakan mitra kerja kerja komunitas/jama’ah. Adapun syarat-syarat pendamping komunitas antara lain:
a) Telah melalui perkaderan taruna melati II atau pelatihan fasilitator dan pendampingan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
b) Memahami prinsip-prinsip dasar perjuangan dan falsafah gerakan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
c) Memiliki pengalaman memfasilitasi perkaderan (formal dan non formal).
d) Mempunyai komitmen dan dedikasi yang tinggi bagi pengembangan komunitas/jama’ah.

3) Coaching Pendamping.
Perencanaan program pendamping merupakan reenergize dan orientasi untuk memberikan orientasi calon pendamping agar memahami situasi komunitas, mengidentifikasi, memberikan alternatif penyelesaian masalah yang dihadapi oleh komunitas. Materi coaching meliputi :
a) Dinamika kelompok
b) Visi dan Misi Program Pendampingan
c) Need Assessment dan Kegiatan Pendampingan, atau
d) Materi lain yang dibutuhkan.

4) Perencanaan Program Pendampingan
Perencanaan program pendampingan merupakan satu tahapan penting yang berkaitan dengan cetak biru (blue print) pendampingan. Rencana program inilah yang menjadi pedoman/guide bagi pendamping dalam mengimplementasikan kegiatan-kegiatan ditingkat komunitas/jama’ah. Perencanaan bisa dilaksanakan dengan musyarawah melibatkan seluruh komponen yang berkaitan dengan kegiatan pendampingan. Misalnya: sekolah, IPM Cabang/Ranting, Fasilitator, dan calon peserta dampingan.

5) Pelaksanaan Pendampingan.
Dalam melaksanakan pendampingan, tugas-tugas yang harus dicapai oleh pendamping dalam melaksanakan kegiatan pendampingan adalah:
a) Mendorong motivasi dan partisipasi anggota jama’ah atau komunitas dalam pengembangan organisasinya.
b) Menumbuhkan semangat perjuangan dakwah amar makruf nahi mungkar.
c) Mendampingi komunitas/jama’ah/ranting dalam penyusunan program-program.
d) Memfasilitasi pelaksanaan pelatihan kepada komunitas/jama’ah.

6) Indikator Keberhasilan Pendampingan.
Indikator adalah alat ukur yang dapat menunjukkan perbandingan, kecenderungan atau perkembangan suatu hal yang menjadi pokok perhatian. Karena itu dalam pendampingan perlu disusun indicator baik kualitatif maupun kuantitatif sebagai capain-capain program. Sebagai contoh: tujuan memperkuat kelembagaan komunitas/jama’ah. Indikatornya sebagai berikut: (1) Konsolidasi struktur internal untuk pembenahan struktur komunitas/jama’ah/ranting, (2) Penerbitan dokumentasi kelompok, dan (3) Timbulnya peran tertentu yang menjadi panutan masyarakat pelajar Evaluasi dan monitoring sangat penting dilakukan dalam suatu program pendampingan dengan tujuan untuk melihat sejauh manakah kegiatan-kegiatan pendampingan tersebut, apa capaian-capaian atau apakah ada kemajuan atau tidak.

Penutup
Sebagai catatan penutup saya ingin mengungkapkan bawah sebuah konsep tidak tidak akan pernah berhasil menjadi kenyataan manakala ia tidak dipraksiskan. Kiai Dahlan sering menyebut dengan istilah bahwa puncak dari beragama adalah amal. Artinya bagaimana pun canggih dan baiknya sebuah konsep pemikiran, toh sangat tergantung dari amalannya. Karena itu amalkan saja sambil didiskusikan. Mungkin ada yang kurang disana sini. Tapi itu bisa diperbaiki lewat sebuah proses refleksi kritis.
Wa’Allahu A’lam.

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter