Catatan Pemikiran dan Refleksi
  •  photo 6c94406c-2ccf-4953-a303-7612ac59f57a_zps5f923e7f.jpg

    ESSAY FOTO SATU

    Bersama Andy F Noya saat mengisi pengajian di acara PP Muhammadiyah, Andy memparkan kiprah dan kegiatan sosialnya

  •  photo 46d2cf56-9947-4f95-a82b-b72206461e0a_zps33ebabbf.jpg

    ESSAY FOTO DUA

    Semasa Masih Aktif di IPM; memimpin diskusi dengan mas Budiman Sudjatmiko pada pelaksanaan Rapat Kerja Nasional IPM tahun 2007 di Sleman, Yogyakarta

  •  photo ef18d4de-c4ad-4b94-9feb-943b3ee510d0_zpse392bf7e.jpg

    ESSAY FOTO TIGA

    Berdiskusi dengan Mahasiswa dari Universitas Oslo dan Polisi Wanita dari Norwegia, kami bertukar pengalaman menganai isu-isu keamanan dan HAM

  •  photo 9134c63d-869d-47ad-8783-c01cda3b8a09_zpsf64981f8.jpg

    ESSAY FOTO EMPAT

    Melakukan perjalanan lapangan ke Lambaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu di Nusakambangan, Kab. Cilacap, Provinsi Jawa Tengah

  •  photo 5e54c736-6a82-446c-bb41-be939eef44d6_zpsfa27fac1.jpg

    ESSAY FOTO LIMA

    Selalu Bahagia, Foto Bersama Ustad Dahlan Rais, Ketua PP Muhammadiyah di Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah saat panen padi sawah tahun 2009

Tuesday, December 14, 2010

Posted by dg situru' | Tuesday, December 14, 2010 | 6 comments
Dalam sebuah forum pengajian Ramadhan tahun 2010 yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah terlontar kegundahan banyak peserta. Apa pasalnya? Setiap periode, Muhammadiyah memprogramkan penyusunan peta dakwah, tapi tidak pernah bisa direalisasikan.

Masalahnya bukan tidak bisa nyusun? Apalagi tidak punya sumberdaya. Problem utama saya kira ketidak jelasan fungsi manajemen dalam struktur PP Muhammadiyah yaitu, siapa yang bertugas dalam penyusunan peta dakwah itu.

Di abad ini, dimana perkembangan teknologi yang sangat maju maka, mengandalkan peta dakwah konvensional sudah saatnya ditinggalkan. Salah satu teknologi pemetaan yang sangat efisien ialah bagaimana pemamfaatan sistem informasi geografis (SIG/GIS) dalam menyusun peta dakwah Muhammadiyah.

Apa itu GIS dan kenapa Muhammadiyah harus memakai teknologi ini? GIS ialah sistem infomasi berbasis komputer yang menggabungkan antara unsur peta (geografis) dan yang dirancang untuk mendapatkan, mengolah, memanipulasi, informasinya tentang peta tersebut (data atribut) analisa, memperagakan dan menampilkan data spasial untuk menyelesaikan perencanaan, mengolah dan meneliti permasalahan.

Dengan menggunakan GIS, Muhammadiyah memungkinkan untuk melihat informasi dakwah secara keseluruhan dengan cara pandang baru, melalui basis pemetaan, dan menemukan hubungan yang selama ini sama sekali tidak terungkap. Apalagi dalam konteks Indonesia yang multicultural.

GIS juga memungkinkan bagi Muhammadiyah untuk lebih meningkatkan integrasi organisasi. Artinya dengan database (dalam GIS) ini, seluruh komponen dalam Persyarikatan bisa memamfaatkan. Karena Muhammadiyah memiliki banyak organisasi otonom, amal usaha dan sayap pergerakan lainnya. Contoh, disamping mengentry data untuk dakwah, juga bisa dimasukkan data tentang perempuan, tentang jumlah amal usaha Muhammadiyah, dan banyak informasi lain yang sekiranya dibutuhkan oleh persyarikatan.

Dengan demikian, Muhammadiyah akan lebih sempurna dalam mengambil keputusan-keputusan strategis dan berdampak luas. Misalnya di wilayah Banten, Muhammadiyah akan menerjunkan da’i. Pimpinan Persyarikatan bisa melihat GIS, titik koordinat yang menjadi daerah sasaran dakwah dimana. Terus bagaimana sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik. Berapa orang da’i yang dibutuhkan beserta kualifikasinya. Data-data tersebut akan tersedia dalam GIS yang akan disusun.

Dengan bekerja berdasarkan basis data seperti ini mengingatkan saya dengan teman-teman kristiani yang bekerja melakukan pelayanan di tanah Papua. Mereka begitu detail dalam database, sehingga ketika KPU kesulitan data pemilih maka, mereka tinggal datang ke Gereja. Sebab disana databasenya lengkap. Apa artinya, database menjadi segalanya dalam melakukan dakwah di masyarakat. Bekerja tanpa basis data yang jelas berarti bekerja dengan kacamata kuda secara sporadis dan tanpa target. Saya kira sudah saatnya cara seperti itu ditinggalkan. Saatnya menggunakan GIS sebagai basis pengembangan dakwah Persyarikatan.

Bagaimana mewujudkan gagasan ini? Sebenarnya tidak terlalu sulit. Pertama, tentu Pimpinan Persyarikatan harus memutuskan akan menyusun peta dakwah berbasis GIS. Kedua, menentukan tim leader sebagai pimpinan proyek. Tim leader inilah yang akan mendiskusikan kebutuhan database dakwah, setelah kebutuhan tersusun lalu membentuk tim survey. Tim survey ini untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan. Biar lebih efisien, bisa digunakan jaringan Muhammadiyah di wilayah, baik itu pimpinan wilayah atau perguruan tinggi Muhammadiyah.

Ketiga, tunjuklah PTM sebagai laboratorium yang menjadi resource centre basis data GIS ini. Misalnya, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang memiliki fakultas geografi. Data-data yang dikumpulkan tadi lalu dibawa ke UMS untuk di imput ke komputer dengan program arcinfo, arcview atau arcgis. Disamping membantu Persyarikatan, kegiatan ini bisa menjadi wadah bagi mahasiswa fakultas geografi UMS untuk mengembangkan keterampilan dan keahliannya dalam GIS.

Keempat, bagaimana pun bekarja dengan banyak orang tentu membutuhkan koordinasi yang baik. Oleh karena itu, tim yang ditunjuk oleh persyarikatan harus mampu mengkoordinasikan kegiatan ini dengan pihak-pihak internal Muhammadiyah, baik itu majelis, lembaga dan organisasi otonomnya.

Ikhtiar itu hanya mungkin diwujudkan bila ada kesungguhan, kerja keras yang dilandasi dengan do’a sehingga niat baik tersebut bisa tercapai. Amin.

Masmulyadi, penulis adalah alumni IPM, bekerja sebagai peneliti di Institute of Public Policy and Economic Studies

Thursday, September 23, 2010

Posted by dg situru' | Thursday, September 23, 2010 | No comments
Tanggal 7 September 2010 saya berkesempatan menonton film "Sang Pencerah", besutan sutradara muda, Hanung Bramantyo di studio XXI, Demangan, Yogyakarta. Hadir Sutradara, Produser, Aktor, dan sejumlah budayawan seperti Butet dan teman-teman senimannya. Tampak hadir juga warga dan pimpinan Persyarikatan.

Hanung dengan kerja-kerja budaya yang dilakukannya telah menyihir publik. Ia berceloteh entah berapa SKS (sistem kredit semester) tentang Ke-Muhammadiyah-an, tanpa ia harus berdiri berjam-jam untuk 4 sampai 6 semester mengajar Al-Islam Ke-Muhammadiyah-an di perguruan Muhammadiyah. Ia hanya butuh waktu 109 menit. Lantas semua penonton terperanjat. Memberi aplous. Tidak hanya warga, simpatisan dan elit Muhammadiyah. Tapi non muslim pun berucap kagum atas kiprah dan nilai-nilai yang ditauladankan oleh Kiai Ahmad Dahlan dalam celoteh Hanung.

Hanung berhasil menampilkan nilai universal tentang Islam yang diajarkan oleh Kiai Dahlan. Nilai itu antara lain; toleran, terbuka dengan perbedaan, memberi ruang bagi nalar untuk beragama secara baik dan kaffah.

Lalu apa hikmah yang bisa diambil dari proses kreatif yang dilakukan oleh Hanung?. Pertama, sukses Hanung mengangkat tokoh Ahmad Dahlan menjadi sebuah biopic film menjadi catatan bagi persyarikatan betapa pentingnya kerja-kerja budaya. Lewat tangan kreatif (Hanum) anak Muhammadiyah itulah Sang Pencerah hadir bertutur tentang persyarikatan dan kiprah tokohnya.

Kedua, Muhammadiyah secara kelembagaan harus mendukung baik kata dan tindakan terhadap kerja-kerja kreatif (budaya) bagi banyak anak-anak muda Muhammadiyah. Sebagai seorang pernah berkecimpun dalam dinamika Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan mengunjungi berbagai tempat di tanah air. Saya bisa melihat dari dekat bagaimana tangan-tangan kreatif anak muda itu. Mereka tidak kalah kok dengan yang lain.

Ketiga, perlunya merambah kembali dakwah kultural yang secara resmi telah menjadi keputusan persyarikatan, walau pun hampir sebagian besar ustad-ustad Muhammadiyah agak risih kalau tidak dikatakan "keberatan" dengan dakwah kultural ini.

Thursday, September 02, 2010

Posted by dg situru' | Thursday, September 02, 2010 | No comments
Pengantar
Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan ekstraparlemen yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara.

Gerakan mahasiswa baik sebelum ataupun pasca tahun 1998 bagi saya tidak bisa dipisahkan dari ruang dan waktu dimana entitas mahasiswa itu hadir. Karena itu gerakan mahasiswa selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Gerakan mahasiswa Indonesia lahir bukanlah dari ruang hampa udara. Gerakan mahasiswa Indonesia lahir sebagai respon atas dinamika sosial, politik dan ekonomi yang terjadi dimana mereka hadir.

Memahami gerakan mahasiswa tidak bisa dipisahkan dengan realitas sosial. Realitas sosial inilah hemat saya yang menjadi daya dorongan untuk melakukan perubahan. Realitas sosial memiliki dua sisi, dia bisa baik dan bisa timpang alias tidak adil. Kenapa harus dilakukan perubahan? Pertanyaan ini sangat relevan dengan semangat dan gelora kemahasiswaan sebagai anak muda. Sebab medan wacana gerakan kemahasiswaan haruslah bertaut dengan wacana perubahan sosial dan dalam kontek realitas sosial inilah gerakan mahasiswa akan diposisikan.

Paradigma Perubahan Sosial
Mengkaji tentang Teori dan Perubahan sosial maka kemudian yang terlebih dahulu harus dibicarakan adalah masalah paradigma. Paradigma adalah cara pandang kita untuk melihat bagaimana masalah sosial, bisa juga sebagai kaca mata atau alat pandang untuk menganalisis masalah sosial. Apakah masalah/realitas sosial itu timpang atau tidak! Kalau jawabannya tidak, kenapa dan kalau yah apa yang mesti dilakukan?

Thomas khun dalam “The structure of Scientifik Revolution” menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah sebagai satu kerangka dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Sedangkan Patton (1975) Paradigma adalah world view a general perspective a way of breaking dawn complexity of the real world.
Jadi, paradigma adalah konstelasi teori, pernyataan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dalam tema pemikiran.

Seorang tokoh mazhab franfurt Jurgen Habermas membagi tiga paradigma dalam melihat masalah sosial, Pertama,Instrumental knowledge. Kedua, dalam paradigma ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukan dan mendominasi obyeknya, yang dimaksud oleh Habermas sesunggahnya adalah paradigma positivisme. Ketiga, adanya kepercayaan universalisme dan generalisasi melalui determinisme.

Paulo Freire dalam Pedegogy of the Oppresed yang diterbitkan di Inggris (1970), tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebut sebagai conscientizacoo atau proses penyadaran terhadap sistem yang menindas yakni suatu sistem dan struktur dehumanisasi yang membunuh nilai kemanusiaan manusia. Proses dehumanisasi terjadi melalui kekerasan fisik dan non fisik penjinakan yang halus, struktur dan sistematis.

Freire membagi idologi perubahan sosial dengan mengacu pada dunia pendidikan yang memanusiakan manusia. Pertama. Kesadaran magis, kesadaran yang mengembalikan semua persolan kemanusiaan kepada realitas di luar diri manusia (natural dan supra natuaral). Kedua, Kesadaran naïf. Kesadaran yang mengembalikan masalah kemanusiaan kepada manusia dengan tanpa mengaitkan antara hal yang satu dengan yang lainya, misalnya kemiskinan terjadi karena masyarakat malas, tidak mempunyai jiwa kewirausahaan. Ketiga, Kesadaran kritis yang disebut juga kesadaran transformativ. Kesadaran yang sudah mampu melihat masalah kemanusiaan sebagai ketidak beresan antara sistem-sistem dalam masyarakat, misalnya kemiskinan terjadi bukan karena takdir tuhan atau karena kemalasan manusia melainkan karena system yang menindas.

Paradigma Fungsionalis
Merupakan sosiologi kemapanan, keteraturan, stabilitas social, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan. Paradigama dimulai pada dasawarsa abad 19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, Pareto.

Paradigma Interpretatif
Pendekatan teori ini cenderung nominalis, anti positivis, dan idiografis, karena mereka beranggapan bahwa kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang, karenanya mereka berusaha menyelami jauh kedalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada dibalik kehidupan sosial.

Paradigma ini dipengaruhi oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Immanuel Kant, penerusnya adalah penganut Filsafat fenimenologi yaitu Dilttey, Max Weber, Husser,dan Schucz.

Paradigma Humanis Radikal
Paradigma ini cenderung menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada, pandangan dasarnya adalah bahwa kesadaran manusia telah dibelenggu oleh suprastruktur-idiologis yang ada diluar diri manusia yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadaran yang murni (alienasi) atau membantu kesadaran palsu. Paradigma mengecam habis-habisan kemapanan kestabilan.

Paradigma Strukturalis Radikal
Fokus analisis paradigma ini adalah menekankan pada konflik struktur.

Teori-Teori Perubahan Sosial
Teori Perubahan Sosial Kapitalisme: Teori modernisasi dan Pembangunan
Landasan teori perubahan sosial kapitalisme yang, Pertama, teori ekonomi klasik, dimana teori ini berpijak pada ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya Wealth of Nation (1776), dan pemikir ekonomi lainya seperti David Ricardo dan James Mill ada juga para analis memasukkan Jeremy Bentham dan Thomas. Pandangan-pandangan kaum teori ekonomi klasik, Pertama, mereka percaya kepada Laissez- Feire yakni kepercayaan akan kebebasan dalam bidang ekonomi yang memberi isyarat perlunya membatasi atau memberi peranan sangat minimum kepada pemerintah dalam bidang ekonomi. Kedua, Ekonomi pasar diletakkan di atas sistem persaingan bebas dan sempurna. Ketiga, mereka percaya kepada kondisi Full employment—suatu kepercayaan bahwa ekonomi akan berjalan secara lancar dan selalu mengalami penyesuaian diri jika tanpa intervensi pemerintah.

Keempat, mereka beranggapan bahwa memenuhi kepentingan individu akan berarti juga memenuhi kepentingan masyarakat dengan kata lain mereka percaya kepada harmony of interest. Kelima, mereka menitikberatkan pada kegiatan ekonomi khususnya pada pembangunan industri, mereka juga percaya bahwa hukum ekonomi berlaku secara universal.

Teori Evolusi
Teori ini berkembang setelah revolusi industri dan revolusi perancis pada awal abad 19. Teori ini berdasarkan pada enam asumsi tentang perubahan, yakni perubahan dilihat sebagai natural, deraksional, imanent, kontinyu, suatu keharusan dan berjalan melalui sebab yang sama.

Teori tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, akan tetapi Aguste Comte lah yang mengembangkannya menjadi ilmu sosial positivistic. Comte kemudian menolak dan tidak meletakkan Tuhan sebagai pusat teori evolusinya. Comte menggambarkan bahwa perubahan akan melalui fase-fase berikut, Pertama, theological dimana suatu masyarakat di kuasai oleh pendeta yang dipimpin oleh militer, Kedua, methaphysical, yang didasarkan pada pemikiran filosof manusia. Ketiga, scientific atau positive yakni dengan memahami hukum alam dan eksperimentasi ilmiah, karenanya masyarakat akademik dikatakan masyarakat ilmiah yang pada dasarnya menganut ligoka dan kepercayaan positivisme.

Masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana (primitive) menuju masyarakat kompleks (modern), memerlukan jangka panjang melalui fase-fase di atas.

Teori Fungsionalis
Teori ini muncul pada tahun 1930-an sebagai kritik terhadap teori evolusi, teori ini dikenal juga dengan teori struktural fungsionalisme yang dikembangkan oleh Robert Marton dan Talcott Persons. Teori ini sangat sederhana melihat masalah sosial, bahwa masyarakat di pandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling menguntungkan dan berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, kelurga dsb). Bagian-bagian tersebut secara terus-menerus mencari equilibrium (keseimbangan) dan harmoni antara mereka, interelasi tersebut dianggap bisa terjadi karena adanya konsensus, dan suatu pola yang non normative dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi maka kemudian setiap bagian akan cepat menyesuaikan diri untuk mencpai equilibrium lagi. Karena masyarakat tidak statis akan tetapi dinamis.

Teori modernisasi
Teori ini lahir di Amerika Serikat tahun 1950-an dan respons kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap sebagai jalan optimis. Modernisasi sebagai gerakan sosial bersifat. Pertama, Revolisioner (perubahan dengan cepat dari tradisi ke modern). Kedua, Berwatak complex (melalui banyak cara dan disiplin ilmu). Ketiga, sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia melalui proses bertahap untuk menuju suatu hegemoni (convergency) dan bersifat progresif.

Gerakan Mahasiswa, Menuju New Social Movement
Sebagian besar teori-teori diatas menjelaskan bahwa perubahan terjadi bila konflik sosial dipandang sebagai dimensi yang tak terpisahkan dari perubahan sosial. Pada titik inilah menariknya untuk membincang gerakan mahasiswa sebagai satu entitas yang otonom yang memiliki kepoloporan terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Menurut Arbi Sanit dalam Fadli, Fahruz Zaman (1999) ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Dalam diskursus tentang gerakan mahasiswa, terutama saat ini memang mengalami fragmentasi kedalam beberapa varian gerakan yang memiliki kekhasannya masing-masing. Hal ini disebabkan oleh anutan nilai dan paradigma yang dikembangkan oleh sebuah gerakan. Tetapi ada bahwa walaupun memiliki keberagaman paradigma tetapi gerakan-gerakan kemahasiswaan memiliki suatu visi yang sama yaitu bagaimana merubah atau melakukan perubahan sosial.

Misalnya, antara Gerakan Mahasiswa Islam (HMI, IMM, PMII, dan KAMMI) mereka memiliki nilai dasar perjuangan yang berbeda. Apa lagi gerakan mahasiswa yang bercorak nasionalis atau bahkan gerakan mahasiswa yang mengidentifikasi diri sebagai gerakan pro demokrasi. Ini misalnya dapat di wakilkan kepada LMND, Famred, dan Forkot. Begitu juga dengan gerakan intra kampus semacam BEM, dan lembaga-lembaga internal lainnya. Diantara sekian banyak gerakan mahasiswa itu mereka memiliki perbedaan yang sangat tajam baik akar arkeologi dan konteks kelahiran serta cita ideal yang mereka ingin perjuangkan.

Pada konteks perubahan sosial ini pula gerakan mahasiswa akan mengalami ujian eksistensial, apakah dia mampu eksis untuk menggapai cita idelnya atau malah pergi dan meninggalkan realitas sosial dengan “melacurkan diri” kedalam kubangan pragmatisme yang menggiurkan. Dalam pengamatan subyektifitas penulis bahwa konteks sejarah, momentum dan tokoh menjadi sesuatu yang niscaya dalam memassifkan gerakan mahasiswa. Sejarah dan momentum sosial inilah yang banyak membedakan antara gerakan mahasiswa dari periode-keperiode. Sedangkan tokoh adalah menyangkut manusia yang akan menjadi panutan dan katalisator sebuah gerakan mahasiswa. Disini juga gerakan mahasiswa mengalami kegagalan kaderisasi. Hampir-hampir kita tidak lagi menjumpai tokoh-tokoh mahasiswa yang mampu menempatkan diri sebagai poros dan payung bagi gerakan yang lebih luas. Yang terjadi adalah egoisme fakultas – kalau ia intern – sedangkan kalau dia eksra adalah egoisme organisasi atau lembaga masing-masing. Dalam menuju kearah perubahan sosial ini kurang tepat.

Karena itu bagi saya gerakan mahasiswa harus mencari formulasi baru dalam dinamika gerakannya. Kalau Anas Urbaningrum (1999) mengajukan pandangan bahwa gerakan mahasiswa harus berubah paradigmanya dari Student Movement ke Social Movement. Akan tetapi Bung Anas tidak menjelaskan secara detail bagaimana format gerakan sosial yang dimaksud. Karena itu dalam kesempatan ini saya memberikan usulan bahwa format gerakan mahasiswa harus melakukan transformasi kepada New Social Movement. Apa itu gerakan sosial baru?

New Social Movement adalah sebuah gerakan dengan mengusung tema yang holistik. Tidak politik atau HAM melulu. Beberapa ciri-ciri New Social Movement yang dapat diidentifikasi : (1) Asumsi Ideologis. Asumsi ideologis yang ingin dibangun adalah terciptanya sebuah masyarakat sipil yang berkeadilan tanpa kontrol negara yang hegemonik. (2) Shifting Paradigma. Yaitu pergeseran paradigma dari social conflik ‘Marxian’ yang deterministik ke trans mondial yang lintas isu / case. (3) Local Empowering. Dalam New Social Movement ada lokal wisdom yang diakui keberadaannya. Atau memberikan eksistensi bagi hidupnya kearifan-kearifan lokal dalam masyarakat. Sedangkan ciri-ciri aktor New Social Movement adalah ; (1) Berasal dari basis sosial yang heterogen, melintasi kategori gender, agama, pekerjaan, pendidikan maupun kelas. (2) Tidak menganut determinism sosial, kaya – miskin, kelas buruh, petani atau pekerja industri (buruh). (3) Aksinya bukan untuk kepentingan kelas tetapi untuk Humanity.

Catatan Akhir
Perjuangan melakukan perubahan sosial sebagai tujuan bersama tidak bisa dilakukan secara person to person. Perubahan sosial harus dilakukan secara massif dan bersama-sama dengan elemen gerakan yang lain.

Membuka jalan perubahan sosial pada dasarnya adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran korban ketidakadilan dan sekaligus membangun front bagi suatu usaha bersama. Jika perubahan sosial dipahami sebagai proses berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, maka bagaimana mencapai perubahan tersebut, apa yang harus dilakukan? Ini sebenarnya substansi yang saya ingin bahasakan melalui forum ini. Karena itu untuk melakukan perubahan dalam konteks New Social Movement bagi saya adalah : Pertama, penyadaran (consaintizn). Membangun kesadaran basis merupakan sesuatu yang niscaya dalam aksi perubahan sosial. Aktivitas ini dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan tenaga inti / kader yang akan menjadi voolunter dalam aksi sosial untuk melakukan perubahan.

Kedua, pendampingan. Pendampingan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah kemampuan gerakan mahasiswa melakukan proses mentoring dan terhadap basis gerakan yang menjadi subyek garapan sebuah organisasi kemahasiswaan. Pendampingan disini bisa juga dimaksudkan sebagai usaha untuk mengorganisasikan basis gerakan. Suau pengorganisasian merupakan usaha untuk membangun kekuatan basis gerakan sehingga mereka mampu secara optimal memamfaatkan potensinya, memahami secara kritis lingkungannya dan mampu mengambil tindkan yang mandiri. Ketiga, pembelaan. Pembelaan dalam pemaknaan disini sebagai upaya untuk melakukan kerja-kerja advokasi dan pembasisan terhadap mereka yang mengalami perlakuan tidak adil.

Dipenghujung makalah ini saya mengutip pernyataan Muhammad Iqbal dalam Kuntowijoyo (2004) ketika memberikan komentarnya mengenai mi’raj Nabi Muhammad bahwa katanya “seandainya Nabi adalah seorang mistikus atau sufi, tentu Nabi tidak akan kembali lagi kebumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya”. Tetapi lanjut Iqbal “Nabi kembali kebumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah”. Apa yang saya ingin katakan bahwa gerakan mahasiswa tidak sekedar memiliki nafsu terhadap perubahan sosial dan berbuat ‘ma’sum’ dengannya, akan tetapi bagaimana gerakan mahasiswa tampil menjadi pengawal perubahan sosial, mahasiswa harus menjadi aktivisme sejarah Wallahu A’lam Bisshawab.

Makalah ini merupakan catatan pengantar diskusi MISEKTA UNHAS sabtu, tanggal 26 November 2005

BAHAN BACAAN

Armin Mustamin Toputiri, dkk. 2005. Mempersiapkan Generasi Baru, Investasi Jangka Panjang Pembangunan Sulawesi Selatan. ToACCAe Publishing. Makassar.

Fadli, Fahruz Zaman (Ed). 1999. Mahasiswa Menggugat, Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998. Pustaka Hidayah. Bandung.

Masmulyadi (Ed). 2001. Analisis Sosial, Membongkar Mitos Gerakan Transformatif. Ikatan Remaja Muhammadiyah. Makassar.

Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Massa, Mengupayakan Demokrasi dan Keadilan Secara Damai. Lepara Pustaka. Jogyakarta.

Prasetyo, Eko. 2003. Islam Kiri, Jalan Menuju Revolusi Sosial. Insist Press. Jogyakarta.

____________. 2005. Assalamu’alaikum; Islam Agama Perlawanan. Resist Book. Jogyakarta.

Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta.


Sultonul Huda. 2002. Modul Pelatihan Cummunity Organizer. Lakpesdam NU. Jakarta.

Yudhie Haryono, M. 2005. Melawan dengan Teks. Resist Book. Jogyakarta.

Friday, August 20, 2010

Posted by dg situru' | Friday, August 20, 2010 | No comments
Oleh: Masmulyadi

“Agama adalah sebuah ikhtiar mencari jalan bagaimana mendamaikan diri kita dengan fakta-fakta dahsyat tentang hidup dan mati” (A. Syafii Maarif)

“Tugas kita sebagai intelektual adalah menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan kita sendiri” (Alm. Mansour Faqih)

Spirit “Al-Ma’un”; Sebuah Pengantar
Kita tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa ini. Berbagai bentuk kejahatan, manipulasi, korupsi dan kecurangan serta k..... yang lain telah menjadi kebudayaan akut yang membutuhkan rentang masa panjang untuk mengurainya menjadi (to be) baik. Penggusuran tanah kaum miskin yang terjadi hampir tiap saat ditayangkan di TV dengan dalih “pembangunan untuk kepentingan umum”. Padahal yang dibangun adalah jalan TOL untuk kepentingan pemilik mobil kijang Krista atau Volfo.

Dibagian lain puluhan anak jalanan harus merelakan dan menukar masa indahnya dengan menjadi peminta-minta di pertigaan jalan atau di lampu merah, menjadi pemulung dari satu tempat sampah ketempat sampah yang lain. Nun jauh disana sekelompok orang Islam memakan saudaranya sendiri dengan dalih “Sesat”. Dan beragam problem ekologis kemanusiaan yang membuat kita miris. Sampai–sampai suatu ketika buya A. Syafii Maarif mengatakan bahwa “seandainya ada perintah dalam Al-Qur’an yang mengajarkan kita pesimis melihat Indonesia ini, maka sayalah orang pertama yang akan pesimis”1.

Dalam kondisi dan keadaan seperti diataslah, K.H. Ahmad Dahlan2 mendirikan Muhammadiyah. Kiyai dalam keadaan yang gelisah, resah dan “geli” melihat realitas zamannya. Dengan kesadaran doktrin sosial Islam yang mendalam seperti itulah, founding father Muhammadiyah ini tegerak kesadarannya untuk berbuat demi kemaslahatan ummat. Kiyai sepenuhnya sadar bahwa Islam tidak semata-mata menekankan ritual dalam menghubungkan diri dengan tuhan-Nya. Ada jalan lain yang setiap orang bisa untuk melakukannya. Jalan yang dimaksudkan adalah hubungan sosial. Atau dalam term wahyu dikatakan hablum minannas. Hubungan kemanusiaan.

Sebagai organisasi sayap “kiri” Muhammadiyah dalam membina dan mencerdaskan ummat remaja, maka IRM mau tidak mau harus merujuk pada profil K.H. Ahmad Dahlan. Sebuah komparasi ideal yang mampu menghubungkan doktrin otentisitas wahyu dengan realitas kesejarahannya. Sehingga kehadiran IRM tidak ditelan bumi tetapi menjadi spirit bagi munculnya generasi baru yang Ulul Albab.3 Generasi yang cerdas, gaul dan tidak ketinggalan zaman. Generasi yang “nakal” dalam pemikiran, “liar” dalam tingkah laku dan Gesit dalam kompetisi. Sehingga tidak mudah terkooptasi oleh siapapun dan atas nama apapun. Yaitu sebuah cita tentang kebebasan etik.

Kelebihan Kiayai Dahlan adalah ketika dia mampu membawa cita ideal Islam kewilayah real. Bagaimana cita ideal islam itu? Dalam pandangan Kuntowijoyo–budayawan Yogyakarta–cita-cita ideal Islam adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapi suatu pertanyaan pokok, yakni bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang menuju kepada keadaan yang lebih tepat dengan keadaan idealnya.4 Karena itu Islam sangat berkepentingan dengan realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami tetapi juga bagaimana mengubahnya.

Melacak Akar Gerakan Kritis-Transformatif di Indonesia
Islam transformatif merupakan salah satu corak paham ke-Islaman yang muncul sebagai respon terhadap keberadaan ajaran Islam yang seolah-olah kurang terlibat dalam menjawab berbagai masalah yang aktual. Islam terkesan hanya digunaka sebagai legitimasi terhadap kesalehan individual dan tidak diwujudkan dalam konteks kesalehen sosial. Dalam hubungan ini Islam hanya digunakan sebatas urusan hubungan manusia dengan Tuhan, dan tidak terlibat dalam urusan hubungan manusia dengan alam, lingkungan sosial, dan berbagai problema kehidupan yang semakin kompleks dan penuh tantangan.

Menurut Abuddin Nata5 ciri-ciri Islam Transformatif adalah; Pertama, Islam transformatif selalu berorientasi pada upaya mewujudkan cita-cita Islam, yaitu membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya : 107) Kedua, mengupayakan adanya keseimbangan antara pelaksanaan aturan-aturan yang bersifat formalistik dan simbolis dengan missi ajaran Islam tersebut. Bahkan jika suatu aturan formalistik atau simbolik tersebut terlihat menghambat pencapaian tujuan, maka aturan formalistik atau simbolik tersebut harus diubah, atau diberi makna baru yang sesuai dengan tujuan.

Ketiga, mewujudkan cita-cita Islam, khususnya keberpihakan terhadap kaum lemah dalam mengangkat derajat kaum dhu’afa atau orang-orang yang tertindas, dan juga diarahkan kepada penegakan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, sopan santun, kejujuran dan keihlasan. Menegakkan nilai-nilai demokratis seperti kesetaraan (egaliter), kesamaan kedudukan (equality), dan sebagainya. Keempat, senantiasa memiliki concern dan respons terhadap berbagai masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat.

Mengamati kriteria Islam Transformatif sebagaimana dikemukakan oleh Nata (2001), maka dapat dikatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah adalah juga sebagai respon dan pemahaman “Kritis-Transformatif” K.H. Ahmad Dahlan atas kondisi zamannya yang begitu krusial dengan proses yang tidak manusiawi seperti penindasan struktural yang dilakukan oleh penjajah kolonial Belanda lewat VOCnya.

Hal yang sama juga terjadi di IRM, bahwa IRM hadir dan lahir bukan dari ruang hampa. Ada proses sejarah yang melingkupi kelahirannya. Ini perlu dipahamkan kepada kader-kader supaya kita tidak ahistory dalam memaknai kehadiran IRM. IRM lahir dari dialektika sosial khususnya yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Bagaimana lingkungan tahun 1960-an? Dalam pengantarnya di buku “Post Islam Liberal” Kuntowijoyo menjelaskan bahwa periode 1960-an adalah merupakan fase ideologi.6 Fase ini dicirikan dengan berdirinya Syarekat Islam. SI dengan mobilitas tokoh-tokohnya mencitrakan diri sebagai kekuatan ideologis yang ‘membahayakan’ sehingga pemerintah kolonial melakukan upaya-upaya agar aktivitas SI tidak meluas. Bahkan pertentangan-pertentangan ini meluas sampai ke masa orde lama. Lahirnya Masyumi sebagai representasi partai politik umat Islam yang memperhadap hadapkan umat Islam dengan pemerintahan Soekarno.

Dalam periodesasi ideologis inilah IRM lahir. Sehingga performa yang ditampilkan IRM pada masa awal adalah performa yang militan dan relatif “fundamental”. Sebab ada lawan ideologis, ada common sense. Apa lawan ideologis IRM dan penggiat Islam ketika itu adalah gagasan “komunis”. Sehingga performa yang ditampilkan IRM pada waktu itu adalah benar dan bisa kita mahfum. Sekarang pertanyaannya adalah apa yang harus dijadikan musuh bagi kita sekarang?, ini penting dielaborasi lebih mendalam.

IRM Dipusaran Pemikiran Keagamaan,
Bagaiamana Bersikap
Memasuki era industrial dan budaya globalisasi, maka yang paling terkena imbasnya adalah kehidupan keagamaan termasuk didalamnya Ikatan Remaja Muhammadiyah. Banyak corak keagamaan yang muncul kepermukaan, sebutlah diantaranya modernisme, fundamentalisme dan liberalisme. Bila kita menyimak bagaimana gaya pakaian atau rambut dikalangan dunia mode yang terus menerus berubah, dan kadangkala gaya perubahan itu set-back kepada gaya tahun-tahun sebelumnya, maka demikian juga dalam dunia pemikiran keagamaan.

Mode atau trend pasti akan lewat begitu saja ketika orang sudah jenuh atau ada trend baru yang muncul. Misalnya mode Hollywood tahun 1940-an yang menonjolkan warna-warna redup seperti merah gelap atau abu-abu kehitaman. Mode atau trend adalah bentuk pencitraan diri. Dan mereka yang selalu sibuk dengan citra diri hanyalah segelintir orang. Demikian juga dalam dunia pemikiran. Citra diri sebagai seorang muslim berfikir liberal dan modern misalnya hanyalah kebutuhan mereka yang sudah berfikir fungsional seperti itu. Sementara umat Islam kebanyakan bengong atau seperti kata Gus Dur “emang gua pikirin” (EGP).

Pada masa awal Orde Baru, kaum intelektual sibuk dengan pemikiran Islam dan modernitas atau Islam dan Pembangunan. Menjelang tumbangnya rezim otoriter Soeharto, muncul Islam dan Postmodernisme, Islam dan Civil Society, Kiri Islam. Kini ada lagi yang begitu bangga dengan sebutan Islam Liberal. Nanti pada era kedepan akan muncul Neo-Liberalisme atau Islam Neo-Liberal. Itulah mode dan bentuk pencitraan yang latah menjadi kebanggaan kaum terdidik.

Agar inovasi dan diversifikasi produk gagasan tidak terhenti, maka dibuatlah semacam apa yang disebut sebagai policing of the risk society. Yaitu, dibangun berbagai bentuk – sebut saja – “teror” terhadap masyarakat, sehingga masyarakat mau menerima gagasan atau institusi dari pembuat “teror” itu. Kelompok yang disebut fundamentalis membuat teror tentang bahaya sekularisme, devaluasi agama, materialisme atau komunis. Dengan teror ini, masyarakat diajak untuk ‘kembali ke syariat agama’.

Sementara kelompok yang menyebut diri liberal atau modern menyebar teror tentang bahaya radikalisme agama, fundamentalisme, sentralisme, otoritarianisme agama, atau militansi. Seminar pelatihan dan penelitian perlu diadakan untuk meyakinkan tentang ancaman terhadap masyarakat itu. Dengan begitu masyarakat dipaksa untuk menerima nilai-nilai liberal dan secara perlahan meninggalkan akar kepercayaan dan kebudayaannya sendiri (indegenous cummunity).

Semakin jauh masyarakat dari budaya dan institusi lokal, maka semakin mudah mereka “dikendalikan” dan diarahkan menuju kedalam sebuah bentuk masyarakat yang terus menerus memuja “citra”. Dan jadilah dunia dalam apa yang disebut sebagai global monoculture : hanya ada satu pusat, yaitu kebudayaan liberal, cara berfikir liberal, ekonomi liberal, politik liberal sampai pada gaya hidup liberal. Di luar yang liberal adalah “pinggiran” atau “penyimpangan” atau “keterbelakangan”. Sebuah sistem hegemonik7 yang dikendalikan sepenuhnya oleh mereka yang memiliki uang, senjata, teknologi dan informasi. Tetapi kondisi diatas adalah salah satu dimensi atau effect dari semaraknya pasar pemikiran, yang mungkin kondisi tersebut tidak diharapkan karena tidak mungkin mendorong transformasi masyarakat atau ummat Islam.

Nah dalam kegalauan nilai, campur aduknya budaya, bursa pemikiran keagamaan yang semakin marak tersebut bagaimana IRM bersikap? Barangkali tawaran keagamaan kita adalah bagaimana spirit ummatan wasatan harus menjadi landasan yang mesti kita kedepangkan. Ajaran tersebut menyiratkan kepada kita semua tentang pentingnya keseimbangan. Bukankah Islam sangat mengajarkan perlunya untuk seimbang. Seimbang dalam banyak hal.

IRM sebagai Gerakan Kritis-Transformatif
Jargon ‘kritis – transformatif’ menyeruak kejagak pentas gerakan sosial tidak terlepas dari kondisi kekinian yang menerpa bangsa Indonesia. Kalau kita rujuk, maka umumnya para penggagasnya adalah aktivis LSM/NGOs yang memiliki latar belakang pemahaman keagamaan yang relatif modern. Tengoklah misalnya Moeslim Abdurrahman, Mansour Faqih, Kuntowijoyo dan M. Dawam Raharjo ataupun juga Amien Rais dengan gagasan tauhid sosialnya. Merekalah yang menjadi motor penggeraknya.

Di IRM jargon ini secara organisatoris dipandang sebagai upaya untuk mengatasi kebuntuan dan upaya sadar IRM untuk mencoba menghadirkan gerakan IRM kewilayah real yang mampu bermain dizamannya dengan pementasan yang indah. Sebuah pementasan dikatan indah dan menarik ketika yang memberikan penilaian itu adalah publik. Maka pada perspektif ini publik IRM adalah remaja. Dalam pandangan IRM remaja adalah mereka yang berumur 14 – 24 tahun, karena pada wilayah umur itulah remaja relatif berada pada fase taransisional dalam kehidupannya. Sehingga remaja terkadang dipandang remah oleh orang lain. Padahal belum tentu. Banyak penemuan-penemuan spektakuler justru lahir dalam umur demikian, bagaimana Rasulullah Muhammad Saw, Thomas Alfa Edison dan banyak yang lain. Mereka adalah penarik gerbong perubahan.

Dengan demikian IRM harus tampil kewilayah publik dengan tanggung jawab kebudayaan untuk mendorong transformasi kebudayaan menuju hikmah (kebijaksanaan, kearifan dan keluhuran). IRM harus tampil dalam zamannya dengan menjadi katalisator proses perubahan, bukan menjadi penghalang lahirnya perubahan. Atau dengan kata lain membumikan cita-cita budaya IRM dalam kesejarahannya di muka bumi ini. Untuk itu ada tiga agenda IRM kedepan dalam kaitannya dengan upaya mengukuhkan tradisi “kritis-transformatif” tersebut :

1. Transendensi (Tu’minuna Billah)
Kata kerja transcend, yang darinya kata transendental diambil, berasal dari bahasa latin transcendere yang artinya memanjat di/ke atas. Dari lima arti dalam Webster’s New International Dictionary yang dekat dengan keperluan kita ialah transendental dengan makna “abstrak, metafisis” dan “melampaui”.

Transendensi seperti dalam tradisi Nabi Ibrahim merupakan kunci bagi penyelamatan manusia modern. Teknologi, ilmu dan manajemen memang membawa kemajuan tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern.

Disinilah pentingnya kesadaran nilai-nilai ilahiah (ma’ruf, munkar dan iman). Nilai-nilai inilah yang menjadi tumpuan aktivisme IRM. Rujukan normatifnya bisa ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2) : 110 “Kuntum khaira ummah ukhrijat linnasi ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna’anil mungkar wa tu’minuna billahi.” (kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyeruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah). Ada empat hal yang tersirat dalam makna ayat tersebut, yaitu (1) konsepsi tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran dan (4) etika profetik. Dalam pandangan Kuntowijoyo8 agar ummat Islam menjadi ummat terbaik ada tiga hal yang harus dilakukan : Pertama, ta’muruna bilma’ruf, Kedua, tanhauna anil mungkar, dan Ketiga, tu’minuna billah.

Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme dan budaya yang dekadan. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.

2. Humanisasi (Ta’muruna Bil Ma’ruf)
Ketika diturungkan dalam konteks zamannya, Islam pada dasarnya merupakan gerakan spiritual, moral, budaya, politik serta sistem ekonomi alternatif. Tentu saja ‘alternatif ‘ dalam sistem dan budaya Arab klasik yang waktu itu tengah mengalami pembusukan dan proses dehumanisasi. Islam (di)lahir(kan) sebagai agama rakyat (suatu komunitas yang sering tertindas-mustad’afin), bukan agama penguasa. Ia harus bergerak dan digerakkan demi, oleh dan untuk rakyat mayoritas. Ia menjadi agama humanis yang menentang agama struktur otoritarian.

Di alam modern saat ini dehumanisasi terjadi dalam multi bentuk. Penyebabnya antara lain karena dipakainya teknologi (baik berupa alat-alat fisik maupun metode) dalam masyarakat. Jacques Ellul (1964) dalam Kuntowijoyo (2004) menulis sebuah buku The Technological Society untuk menjelaskan betapa jauh teknologi itu dalam kehidupan. Teknologi kemudian menjadi dewa dan pusat sesuatu. Perilaku-perilaku kekerasan yang bernuansa etnik dan agama serta kriminalitas menjadi potret proses dehumanisasi bangsa saat ini. Tidak heran kemudian kemunculan postmodernisme sebagai perlawanan atas modernisme yang menampilkan diri dengan model yang kebeblasan.

Dalam kondisi demikian Al-Qur’an mengatakan bahwa pada awalnya manusia itu hanif (sebaik-baik mungkin). Akan tetapi karena proses sejarah lalu kemudian manusia mengalami apa yang disebut dengan “tsumma radadnaa hu asfala safilin” (kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya). Dalam ayat tersebut dikecualikan ; (1) “illalillazina aamanu” (orang-orang yang beriman), (2) “wa amilussalihati” (mengerjakan amal shaleh). Aktifitas kemanusiaan yang tidak etik itulah yang menyebabkan manusia terjungkal kedalam lembah kehinaan (dehumanisasi) sehingga kehilangan kemanusiaannya. Untuk itu usaha mengangkat kembali martabat kemanusiaan manusia (emansipasi) atau humanizing sangat diperlukan. Tujuannya adalah memenusiakan manusia.

Pada titik ini apresiasi yang harus IRM berikan kepada realitas masanya adalah bagaimana IRM kemudian menciptakan kebudayaan dengan membangun kultur kebajikan, keindahan hati, interaksi sosial yang menjamin rasa aman, kemanusiaan (humanis) dan perdamaian (peace) sebagai maenstrem utamanya. Ayat-ayat pendidikan (QS. Al-Alaq (96) : 1-5 ), kesehatan (QS As-Syuara (26) : 80) dan perlakuan terhadap anak yatim piatu (QS. Al-Ma;un (107) : 1-7) merupakan ayat-ayat kemanusiaan yang menjadi kajian kritis generasi awal Muhammadiyah. Dalam tanfidz Muktamar XIII di Yogyakarta mengenai Khittah Perjuangan IRM dengan jelas disebutkan bagaimana bahwa prinsip pemanusiaan itu memiliki dua akar potensi yang terdapat dalam diri manusia. Pertama, kebudayaan dan kedua, peradaban.

Makna kebudayaan adalah kemampuan diri yang dicapai dengan pertumbuhan, sedangkan makna peradaban adalah kekuasaan atas alam dengan menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, kota dan negara. Sebab peradaban merupakan kelanjutan atas kemajuan teknis, yaitu kelanjutan dari unsur-unsur alam yang menunjukkan kekuatan potensial yang sebenarnya sudah ada pada leluhur kita dimasa lampau. Peradaban memberi pendidikan sedangkan kebudayaan memberi pencerahan. Yang satu dituntut melalui proses belajar dan yang satu dituntut melalui proses perenungan, refleksi, kontemplasi dan meditasi.

Untuk itu sebagai bagian dari Muhammadiyah, maka yang harus dilakukan IRM adalah kultur saling menyantuni, ‘saling menyayangi’ dan memiliki sense of social yang tinggi. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila lahir pemikiran, pandangan dan pemaknaan yang mendalam terhadap teks Al-Qur’an berkenaan dengan cita-cita sosial Islam. Disinilah IRM diharapkan menggeser paradigmanya mengenai kesalehan dari kesalehan individual kepada kesalehan sosial. Dari struktural ke kultural. Dari mitos kelogos dan dari simbol kesubstansi.

3. Liberasi (Tanhauna Anil Mungkar)
Ajaran mengenai tanhauna anil mungkar adalah merupakan focus teologicus Islam. Dan inilah yang oleh Ali Syari’ati disebut dapat membedakan antara nabi Islam dengan nabi diluar Islam. Hassan Hanafi (2001) menggambarkan bahwa jika Ibrahim merupakan cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala; Nabi Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme dan Nabi Isa adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme; maka Nabi Muhammad Saw merupakan tauladan kaum papa, hamba sahaya dan komunitas tertindas berhadapan dengan konglomerat, elit Quraisy dan gembong-gembongnya dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih sayang, persaudaraan dan egaliter.

Ajaran fundamental Islam sebagai kerangka epistemologi pemihakan Islam terhadap kaum lemah adalah tauhid. Dalam islam konsep tauhid merupakan konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan tak lain kecuali menyembah kepada Tuhan.9

Oleh karena itu ide tauhid ini sejak awal telah menjadi dasar fundamental dalam menciptakan tata sosial yang etis (berlandaskan moral), egalitarian dan berkeadilan, khususnya dalam mengeliminir praktek keagamaan politheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan serta ketidakadaan tanggungjawab sosial. Dengan demikian, seperti dikemukakan Asghor Engineer, doktrin tauhid tidak hanya mempunyai konsekuensi religius, tetapi juga mempunyai implikasi sosio-ekonomi.

Ali Syariati menyebutkan bahwa tauhid dalam Islam merupakan suatu pandangan dunia, yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme, dan aristokrasi.

Dalam pengertian ini tauhid, faham tauhid selalu terkait dengan prinsip kemanusiaan, rasa keadilan sosial dan ekonomi yang harus diwujudkan dalam kehidupan kongkrit bermasyarakat. Dalam bahasa filsafat parennial, bahwa komitmen imani sebagai respon terhadap sapaan kasih Tuhan yang berpusat dari pemahaman dan keyakinan Ketuhanan Yang Esa (Tauhid), harus selalu melangkah dan bergerak pada tahapan praksis untuk melayani manusia sebagai sesama hamba Tuhan. Dengan ungkapan lain, tauhid atau perjalanan iman yang bermula dari pengetahuan dan keyakinan terhadap Tuhan selalu dan harus bergerak kemuara kehidupan kongkrit berupa amal kebajikan.

Rangkaian tauhid adalah paham tertentu tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid (mengimani ke-Maha Esa-an Tuhan) adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau seharusnya membawa implikasi pada ; Pertama, pencerahan. IRM sebagai organisasi atau pergerakan diarahkan dan dibentuk dalam kerangka tauhid sebagai upaya penyadaran terhadap nilai eksistensi manusia, menjadi pengingat dan pembangkit motivasi insaniah, serta mengasah dan mencerahkan naluri gaib cinta kasih yang tersembunyi pada manusia (QS Al-Alaq : 1-5).

Kedua, pembebasan. Syahadah (Asyadu’allah Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah) dalam kerangka berfikir muslim merupakan pernyataan yang bermula dengan menafikan lalu dititik puncaknya adalah penisbahan (laa ilaa ha illallah). Pemaknaan terhadap syahadah tersebut mewujud dalam gerakan membebaskan manusia lewat Tuhan. Ketika terbakar oleh api ilahi, kita kembali dan memasuki putaran waktu dan mewarnai jalannya sejarah, mengubah suatu dunia baru yang membebaskan (QS At-Taubah: 129).

Ketiga, kesemestaan/universality. Sebagai gerakan sosial religius merupakan keniscayaan untuk selalu berada dan bergerak dalam komunitas masyarakatnya. Komunitas masyarakat dalam pandangan dunia tauhid adalah merupakan locus kepedulian, keprihatinan dan pengabdian kepada Tuhan. Dengan demikian kesemestaan bermakna bahwa Ikatan Remaja Muhammadiyah bergerak dalam setting sosial yang unipolar dan menolak dikotomi orientasi pemanusiaan (QS : An-Nisa ; 1)

Karena itu anak-anak IRM perlu menumbuhkan sikap beragama yang kritis-transformatif menjadikan landasan tauhid sebagai spirit pergerakan dan menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk tirani dan seabrak ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran sebagai pemaknaan kreatif terhadap fungsi kehadiran manusia sebagai khalifah. Tujuan liberasi (tanhauna anil mungkar) adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, eksploitasi, keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan dan ketidakadilan distribusi.

Penutup
Berdasarkan serangkaian pemaparan diatas, maka kritis-transformatif adalah aktualnya tata nilai ketuhanan (Rabbaniyah), yang menjiwai terhadap seluruh aktivitas kemanusiaan yang berdasarkan kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan akan menuju Tuhan (Q.S. Al-Baqarah (2):156), Inna lillahi wa inna ilahi raaji’un (sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya), maka Allah adalah asal dan tujuan hidup tempat kembali segala sesuatu/mahluk.

Dipenghujung makalah ini saya mengutip pernyataan Muhammad Iqbal dalam Kuntowijoyo (2004) ketika memberikan komentarnya mengenai mi’raj Nabi Muhammad bahwa katanya “seandainya Nabi adalah seorang mistikus atau sufi, tentu Nabi tidak akan kembali lagi kebumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya”. Tetapi lanjut Iqbal “Nabi kembali kebumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah”. Apa yang saya ingin katakan bahwa IRM tidak sekedar memiliki nafsu terhadap perubahan sosial, akan tetapi bagaimana IRM tampil menjadi pengawal perubahan, menjadi aktivisme sejarah Wallahu A’lam Bisshawab.

Nun Walqalami Wama Yasthuruun

Bacan Bacaan



Faqih, Mansour. 2002. Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik. Insist Press. Yogyakarta.

Khozim. 2004. Menggugat Pendidikan Muhammadiyah. UMM Press. Malang.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Mizan. Bandung.

____________. 2004. Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika. Teraju Mizan, Bandung.

Nata, Abuddin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta.

Pribadi, Airlangga dan M. Yudhi R. Haryanto. 2003. Post Islam Liberal, Membangun Dentum Mentradisikan Eksperimentasi. Gugus Press. Bekasi.

Zakiyuddin Baidhawy, “Membangun Kerangka Ilmu-Ilmu Sosial Islam; Sebuah Pengenalan Awal”, dalam akademika, No. 01/Th.XV/1997, hal 37-50.

Tanfidz Keputusan Muktamar XIII Ikatan Remaja Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2002.

Pedoman Advokasi Ikatan Remaja Muhammadiyah Sulawesi Selatan.

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter