Skip to main content

Pemamfaatan GIS dalam Dakwah Muhammadiyah

Dalam sebuah forum pengajian Ramadhan tahun 2010 yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah terlontar kegundahan banyak peserta. Apa pasalnya? Setiap periode, Muhammadiyah memprogramkan penyusunan peta dakwah, tapi tidak pernah bisa direalisasikan.

Masalahnya bukan tidak bisa nyusun? Apalagi tidak punya sumberdaya. Problem utama saya kira ketidak jelasan fungsi manajemen dalam struktur PP Muhammadiyah yaitu, siapa yang bertugas dalam penyusunan peta dakwah itu.

Di abad ini, dimana perkembangan teknologi yang sangat maju maka, mengandalkan peta dakwah konvensional sudah saatnya ditinggalkan. Salah satu teknologi pemetaan yang sangat efisien ialah bagaimana pemamfaatan sistem informasi geografis (SIG/GIS) dalam menyusun peta dakwah Muhammadiyah.

Apa itu GIS dan kenapa Muhammadiyah harus memakai teknologi ini? GIS ialah sistem infomasi berbasis komputer yang menggabungkan antara unsur peta (geografis) dan yang dirancang untuk mendapatkan, mengolah, memanipulasi, informasinya tentang peta tersebut (data atribut) analisa, memperagakan dan menampilkan data spasial untuk menyelesaikan perencanaan, mengolah dan meneliti permasalahan.

Dengan menggunakan GIS, Muhammadiyah memungkinkan untuk melihat informasi dakwah secara keseluruhan dengan cara pandang baru, melalui basis pemetaan, dan menemukan hubungan yang selama ini sama sekali tidak terungkap. Apalagi dalam konteks Indonesia yang multicultural.

GIS juga memungkinkan bagi Muhammadiyah untuk lebih meningkatkan integrasi organisasi. Artinya dengan database (dalam GIS) ini, seluruh komponen dalam Persyarikatan bisa memamfaatkan. Karena Muhammadiyah memiliki banyak organisasi otonom, amal usaha dan sayap pergerakan lainnya. Contoh, disamping mengentry data untuk dakwah, juga bisa dimasukkan data tentang perempuan, tentang jumlah amal usaha Muhammadiyah, dan banyak informasi lain yang sekiranya dibutuhkan oleh persyarikatan.

Dengan demikian, Muhammadiyah akan lebih sempurna dalam mengambil keputusan-keputusan strategis dan berdampak luas. Misalnya di wilayah Banten, Muhammadiyah akan menerjunkan da’i. Pimpinan Persyarikatan bisa melihat GIS, titik koordinat yang menjadi daerah sasaran dakwah dimana. Terus bagaimana sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik. Berapa orang da’i yang dibutuhkan beserta kualifikasinya. Data-data tersebut akan tersedia dalam GIS yang akan disusun.

Dengan bekerja berdasarkan basis data seperti ini mengingatkan saya dengan teman-teman kristiani yang bekerja melakukan pelayanan di tanah Papua. Mereka begitu detail dalam database, sehingga ketika KPU kesulitan data pemilih maka, mereka tinggal datang ke Gereja. Sebab disana databasenya lengkap. Apa artinya, database menjadi segalanya dalam melakukan dakwah di masyarakat. Bekerja tanpa basis data yang jelas berarti bekerja dengan kacamata kuda secara sporadis dan tanpa target. Saya kira sudah saatnya cara seperti itu ditinggalkan. Saatnya menggunakan GIS sebagai basis pengembangan dakwah Persyarikatan.

Bagaimana mewujudkan gagasan ini? Sebenarnya tidak terlalu sulit. Pertama, tentu Pimpinan Persyarikatan harus memutuskan akan menyusun peta dakwah berbasis GIS. Kedua, menentukan tim leader sebagai pimpinan proyek. Tim leader inilah yang akan mendiskusikan kebutuhan database dakwah, setelah kebutuhan tersusun lalu membentuk tim survey. Tim survey ini untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan. Biar lebih efisien, bisa digunakan jaringan Muhammadiyah di wilayah, baik itu pimpinan wilayah atau perguruan tinggi Muhammadiyah.

Ketiga, tunjuklah PTM sebagai laboratorium yang menjadi resource centre basis data GIS ini. Misalnya, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang memiliki fakultas geografi. Data-data yang dikumpulkan tadi lalu dibawa ke UMS untuk di imput ke komputer dengan program arcinfo, arcview atau arcgis. Disamping membantu Persyarikatan, kegiatan ini bisa menjadi wadah bagi mahasiswa fakultas geografi UMS untuk mengembangkan keterampilan dan keahliannya dalam GIS.

Keempat, bagaimana pun bekarja dengan banyak orang tentu membutuhkan koordinasi yang baik. Oleh karena itu, tim yang ditunjuk oleh persyarikatan harus mampu mengkoordinasikan kegiatan ini dengan pihak-pihak internal Muhammadiyah, baik itu majelis, lembaga dan organisasi otonomnya.

Ikhtiar itu hanya mungkin diwujudkan bila ada kesungguhan, kerja keras yang dilandasi dengan do’a sehingga niat baik tersebut bisa tercapai. Amin.

Masmulyadi, penulis adalah alumni IPM, bekerja sebagai peneliti di Institute of Public Policy and Economic Studies

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perubahan Sosial dan Dinamika Gerakan Mahasiswa

Pengantar Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan ekstraparlemen yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Gerakan mahasiswa baik sebelum ataupun pasca tahun 1998 bagi saya tidak bisa dipisahkan dari ruang dan waktu dimana entitas mahasiswa itu hadir. Karena itu gerakan mahasiswa selalu ...

Strategi Pendampingan Kader IPM

Salah satu konsepsi penting yang dilahirkan dari Semiloka Kader tahun 2002 di Makassar ialah pendampingan. Konsep pendampingan dalam konstruksi semiloka kader Makassar merupakan satu bangunan dengan fasilitator. Dalam sistem perkaderan IPM disebut dengan pelatihan fasilitator dan pendampingan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia fasilitator diartikan sebagai orang yang menyediakan fasilitas. Dalam konteks pelatihan maka, fasilitator berfungsi melancarkan proses belajar, menyediakan informasi baru, dan memperkaya pengalaman peserta. Sementara pendampingan berarti menemani atau menyertai peserta dampingan dari dekat. Dalam konteks pemberdayaan pendampingan berarti pola dukungan. Bentuknya seperti dukungan personil, tenaga pendamping, relawan atau pihak lain yang memberikan penerangan, dukungan teknis, dan penyadaran. Sejak dirumuskan di Makassar tahun 2002 yang lalu, konsepsi pendampingan tidak pernah lagi dibicarakan. Padahal, konsepsi tersebut masih bersifat umum. Sehingga tidak bi...