Catatan Pemikiran dan Refleksi

Saturday, May 22, 2010

Posted by dg situru' | Saturday, May 22, 2010 | 1 comment
Tulisan Haris Baginda tribun, (12/01) bertajuk “Langkah PKS Menempatkan Soeharto Sebagai Guru Bangsa” cukup mengusik nalar saya. Kesimpulan sekaligus vonis terhadap Jurdi dengan kekerdilan pustaka dan refrensinya merupakan vonis yang amat jauh dari substansi tulisan. Kesimpulan tersebut lebih tepat disebut argumentum ad Hominem. Yaitu cara berargumentasi yang keliru dimana orang yang mengemukakan argumentasi yang diserang bukannya argumen atau ide itu sendiri.

Sebagai cendekiawan muslim (ICMI dan KAHMI), bung Haris mestinya membaca secara utuh tulisan Jurdi. Dari pembacaan utuh itulah akan ditarik pokok ide kemudian dilakukan kritik terhadap ide itu. Bukan menyerang orangnya untuk membuat kesimpulan. Ini amat menggelikan dalam sebuah tradisi ilmiah.

Analogi yang dilakukan Jurdi dengan mencoba mengangkat sifat dan karakteristik kepemimpinan Fir’aun seperti fasis, tamak, penindas, despotik, gila kuasa, refresif dan pada tingkat tertentu mengaku sebagai Tuhan lalu ditarik ke konteks rezim Soeharto pada beberapa level memang sama. Itu memerlukan kajian literatur yang memadai. Dan Jurdi mampu mengangkat itu dengan baik kemudian menganalogikannya dengan konteks Soeharto.

Semua orang tahu, bagaimana rezim Soeharto melakukan kekerasan. Menghilangkan nyawa ribuan orang dengan sejumlah operasi militernya. Kita mungkin masih ingat bagaimana kasus Tanjung Priok, Malari, Kuda Tuli, Kedung Ombo, Aceh, Talangsari dan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia baik berat atau ringan. Mereka dibantai oleh rezim atas nama pancasila dan stabilitas keamanan bagi pembangunan.

Simbol Fir’aun sebagai penindas dalam konteks itu sama dan sebangun dengan Soeharto di zamannya. Mari kita lihat bagaimana Tuhan menggambarkannya dalam Al Qur’an “Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan (QS Al Qashas [23]:4)”.

Semua orang tahu kekejaman Fir’aun. Bayi-bayi dibunuh, yang berani menentang sudah pasti diberangus. Tidak hanya kejam, Fir’aun juga dengan pongah mengaku sebagai Tuhan. Sama tahunya orang Indonesia, bagaimana kejamnya rezim Soeharto yang membantai anak-anak manusia yang tak berdosa. Bedanya, Soeharto belum mengaku Tuhan sedang Fir’aun mengaku sebagai penguasa langit dan bumi yang harus di sembah. Dengan bahasa yang sama Syahrur menulis dalam Dirasat Islamiyyah Mu'ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama' (1994) bahwa Fir'aun, Haman, dan Qarun merupakan simbol tirani dalam ranah politik, agama, dan sosial-ekonomi.


Fir’aun, Haman, dan Qarun
Di dalam Al Qur’an Fir’aun, Haman, dan Qarun selalu di sebut bersamaan, misalnya di Al Ankabut ayat 39-40, disana Tuhan menjelaskan mengenai ajakan Nabi Musa kepada trio mesir kuno itu. Karena tidak mau mengakui kebenaran ajaran yang dibawakan oleh Musa, maka Tuhan menimpakan kepada mereka siksaan yang setimpal. Lalu apa pelajaran yang bisa dimaknai dari ayat tersebut?

Pertama, Fir’aun sebagai manusia, memang telah meninggal. Ia meninggal dalam di laut merah dalam pertarungan kuasa. Tapi sebagai simbol penindas, despotik, dan represif Fir’an tidak pernah mati. Ia selalu ada dan mewujud seperti Soeharto, Marcos, Syah Reza Pahlevi, George W. Bush, Hitler dan sejumlah penguasa tiran lainnya.

Kedua, Qarun adalah gelar bagi orang yang suka memonopoli kekayaan, namun tidak memperhatikan kaum lemah, miskin, dan tertindas. Manifestasi Qarun sebagai simbol konglomerat hitam akan senantiasa hadir dalam semesta kefanaan ini. Qarun merupakan konglomerat yang kikir dan menindas kaum lemah. Ia hanya berfikir untuk kepentingan lingkarannya saja. Ia bersekutu dengan penguasa yang pongah. Rente ekonomi model Qarun akan senantiasa mewujud dalam bentuk yang lebih kontekstual dan setiap saat bisa mengangkangi orang kecil yang miskin.

Ketiga, Haman ialah seorang ilmuwan, teknokrat, dan arsitek istana kerajaan Fir 'aun. Dalam Al Qur’an, Haman disimbolkan sebagai intelektual yang melacurkan ilmunya demi penguasa tirani. Haman sangat setia terhadap Fir’aun sehingga setiap apa yang dititahkan sang raja, ia tak kuasa menolaknya. Sehingga apa pun dilakukan oleh Haman. Tak peduli apakah melabrak tata krama ilmiah dan kebenaran. Ini kita bisa lihat bagaimana para intelektual yang bersepakat mendukung kenaikan harga BBM yang menyengsarakan rakyat pada tahun 2005 lalu.

Dalam konteks demokrasi di Indonesia, maka totalitarianisme, konglomerat hitam dan intelektual semacam Haman amat membahayakan demokrasi. Sebab bisa saja, perangkat aparatus negara beserta sistemnya mereka kuasai. Jika itu dikuasai, maka sempurnalah rusaknya demokrasi. Demokrasi akan dijalankan secara prosedural saja, sementara substansinya hilang. Itu berarti bahwa demokrasi hanya menunggu ajalnya.

Asas Tunggal Pragmatisme
Pemilu tahun 2009 menjadi pertaruhan yang amat menentukan bagi kemajuan demokrasi Indonesia. Apakah akan menuai perubahan atau hanya sekedar kontinuitas. Sementara harapan masyarakat begitu besar bagi hadirnya kejujuran, keadilan, dan harmoni di negeri ini.

Partai politik sebagai instrumen demokrasi pun gagal menjembatani harapan publik. Wajar saja, jika dalam beberapa pemilihan kepala daerah tingkat golput mencapai 30-40%. Masyarakat tidak memiliki trust kepada partai politik disebabkan perilaku elitnya yang menjengkelkan. Saat ini masyarakat serba bingung. Sebab tidak lagi dapat dibedakan antara partai dakwah, nasionalis, berbasis agama dan berhaluan kiri sekali pun.

Telah terjadi deidoelogisasi yang amat memprihatinkan. Kalau di tahun 60-an, kita dengan jelas bisa membedakan, mana Masyumi, PKI dan PNI. Saat ini begitu sulitnya memahami platform partai yang serba tidak jelas itu. Apalagi jumlah peserta pemilu tahun 2009 nanti jumlahnya 43 kontestan yang akan semakin membuat pusing kepala pemilih.

Menurut Firmansyah (2008) masyarakat butuh penanda yang mereka bisa menentukan partai politik mana yang akan mereka pihaki. Penanda itu tidak hanya bersifat sementara dan sektorial, melaingkan holistik dan melingkupi identitas politik secara keseluruhan, termasuk perilaku politik elitnya. Dan penanda yang sangat berguna dalam politik adalah ideologi, karena sifatnya yang holistik dan tidak parsial.

Karena ketak jelasan ideologi inilah, maka berujung pada pragmatisme politik. Kita bisa melihat dalam beberapa kasus. Misalnya kenaikan harga BBM, lahirnya undang-undang penanaman modal dan BHMN. Dalam kasus UU penanaman modal, tak satu pun partai politik yang menolak UU ini, termasuk yang mengklaim partai dakwah dan oposisi. Mulusnya UU ini hamper pasti karena fulusnya lancar dan bagi-baginya adil. Sehingga tidak terjadi seperti pembuatan UU perbankan yang menyeret sejumlah anggota DPR dan pejabat Bank Indonesia.

Dan kini, semakin dekat ke pemilu 2009, berbagai cara pun dilakukan oleh partai politik untuk meraup suara. Harga BBM (bensin) yang semestinya mencapai kisaran Rp. 3500/liter sesuai standar harga internasional tidak luput di politisasi dengan cara mencicil penurunannya. Tokoh-tokoh pahlawan nasional dan Soeharto pun tak luput dari politisasi. Bahkan yang paling mengerikan adalah mempolitisasi kesengsaraan rakyat Palestina dengan rapat-rapat terbuka. Kita mungkin masih ingat, bagaimana Habibie di jual menjelang pemilu legislatif tahun 2004. Jadi untuk apalagi kalau bukan untuk kepentingan pendek, 2009. Kepentingan pragmatis sesaat. Wa Allah A’lam Bisshawab.

1 comment:

  1. "Karena ketak jelasan ideologi inilah, maka berujung pada pragmatisme politik..."

    Ideolologinya sudah jelas kok. Ideologi pragmatisme. =D

    ReplyDelete

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter