Catatan Pemikiran dan Refleksi

Saturday, May 22, 2010

Posted by dg situru' | Saturday, May 22, 2010 | No comments
Panas, erotis, dan penuh persentuhan kepentingan rupanya menjadi tanda semakin maraknya pemilu 2004. Berbagai macam proses politik sudah dilewati satu demi satu walaupun disana-sini menyisakan riak-riak sebagai bumbu dan seninya berpolitik. Atmosfir dan suhu politik bergerak meningkat, konspirasi dan konsolidasi dilakukan dimana-mana demi sebuah gelar the champion.

Ditengah riuhnya proses-proses politik tersebut nampaknya ada yang tidak kala menarik untuk diapresiasi adalah gerakan mahasiswa (IMM, PMKRI, PMII, KAMMI, GMNI, KMHDI, dan HIKMABUDHI) dan organisasi non pemerintah (NGO) yang menentang politisi bermasalah alias politisi busuk. Gerakan ini menurut hemat penulis perlu diaplous dan disambut dengan meriah bagi komponen yang masih memiliki nurani kebangsaan, mengingat kondisi kebangsaan kita saat ini yang berada pada posisi transisi. Transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi, dari tradisional ke modern dan post modernisme sekaligus.

Transisi bisa diibaratkan sebagai seorang yang berjalan diatas titian yang bergoyang. Setiap langkah akan menimbulkan goyangan-goyangan yang akan menimbulkan ketidakstabilan yang akan menggoyang demokrasi, atau bahkan akan mengembalikan ke rezim lama, atau masyarakat tetap berada dalam krisis. Masa transisi memang tidak berujung. Semua masyarakat, bangsa, dan negara harus selalu berada pada masa transisi menuju demokrasi. Sebab sangat berbahaya bila orang beranggapan bahwa demokrasi telah terjadi, sebab pada saat itu kerja akan terhenti. Demokrasi biarkan tetap dalam tataran ide, tetapi usaha transisional menuju kearahnya tak boleh berhenti. Kita harus terus berada pada masa transisi menuju demokrasi.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah menjalani fase pasca-otoritarianisme (Eep Saifulloh Fatah, 1999). Salah satu ancaman yang menjadi persoalan besar bangsa ini adalah praktek-praktek politik kotor yang penuh dengan syahwat kuasa, oportunis, dan pragmatis. Yang ada di batok kepala mereka (politisi) hanya kuasa, kuasa, dan kuasa. Persoalan perilaku elit politik ini, memang perlu dielaborasi bersama sebab “politik” memegang peranan utama dan signifikan dalam perubahan struktural bernegara kita.

Perilaku para aktor itu memang cukup rumit untuk dijelaskan secara gamblang oleh teori dan pakar politik dari aliran dan varian pemikiran manapun. Sebab menyoal perilaku berarti kita akan bicara soal tingkah laku yang memang cukup rumit untuk dibaca. Hanya saja dengan perkembang-perkembangan pemikiran manusia maka, salah satu pendekatan yang mesti kita gunakan dalam melihat persoalan ini adalah bagaimana kita mengungkap perilaku para elit itu dengan melihat pada sisi morfologis, yaitu bentuk-bentuk yang dapat diindra dan nampak kepermukaan sebagai sebuah bahan kajian.

Munculnya gerakan anti politisi bermasalah alias politisi busuk, itu berawal ketika riuh gemuruhnya partai politik mendaftarkan calon anggota legislatifnya ke komisi pemilihan umum (KPU). Dimulai dengan orarasi yang dilakukan oleh beberapa LSM atau non goverment organization (NGO) di monumen pancasila Jakarta juga ikut dihadiri oleh tokoh diantaranya Cak Nur, Anhar Gonggong, dll. Tidak berselang lama gerakan mahasiswa pun menyahuti kokokan NGO itu dengan mendeklarasikan sebuah manifesto perjuangan yang disebut dengan Manifesto Politik Mahasiswa Indonesia (MPMI). Ikut pula ormas semacam PP Pemuda Muhammadiyah yang menyambutnya dalam dentuman yang lain dengan mendirikan posko pelaporan politisi bermasalah alias politisi busuk. Ritme gerakan ini kemudian membahana dan menggetarkan jagad politik nasional. Ditambah lagi peran dinamis media dengan semangat reformisnya ikut memberi warna gerakan ini, maka jadilah dia wacana publik yang menggoda.

Prokontra, protes, dan polemik pun muncul baik yang dilakukan oleh pengamat, pakar, politisi, dan masyarakat luas tentang gerakan anti politisi bermasalah tersebut. Perdebatannya sekitar pada; apakah gerakan ini adalah sebuah gerakan moral? Atau hanyalah gerakan politik sesaat (untuk 2004 saja) yang bertujuan untuk mengganjal politisi tertentu untuk tidak berkantor lagi di Senayan! Kalau itu yang menjadi spiritnya maka, gerakan ini tidak akan lama dan lalu akan “melacurkan diri” dengan jalannya sang waktu. Akan tetapi kalau itu adalah gerakan moral yang mencoba mendongkrak rill politik kita dari kubangan kotor selama ini maka, inilah yang saya katakan perlu diaplous.

Persoalannya adalah kalau gerakan moral anti politisi bermasalah ini tidak dilakukan sekarang maka, bisa dipastikan bahwa perubahan-perubahan sebagaimana cita-cita reformasi yang banyak diperjangkan oleh mahasiswa, NGO, dan cendekiawan akan kandas lagi. Sebab negeri ini sudah terlalu sakit. Bangsa Indonesia ini berada diambang kehancuran atau dalam bahasa Qur’annya dikatakan ala syafaa hufratin min al-nar...dan perlu penyelamatan karena negeri ini emergency dan sudah koma. Berbagai macam musibah menimpa baik didarat, laut, dan udara. Memang tidak salah jika ibu pertiwi menangis melihat anak-anak bangsa berkelahi memperebutkan senayang.
Penyebab itu semua diatas ada dua hal utama yaitu; (1) Perilaku elit politik dengan perangai yang sangat rakus. Dengan ciri utamanya adalah massive coruption maka, jadilah gedung parlemen sebagai centre of coruption dan tempat untuk membagi-bagi proyek, (2) Kepemimpinan nasional kita yang kolaps alias lemah syawat, tidak tegar. Para pemimpin negeri ini hanya tegar dalam menjual harta negara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh rakyat yaitu privatisasi. Karena itu kita perlu retas itu semua dengan upaya-upaya yang manusiawi dan tidak gegabah. Disinilah pentingnya untuk memahami terma atau pengertian tentang politisi bermasalah itu. Sebab hal ini sangat sensitif dan kalau tidak dilakukan dengan hati-hati dapat berimplikasi luas pada pencemaran nama baik orang lain. Ini penting dilakukan juga untuk sebagai parameter untuk mengukur siapa-siapa yang bisa kita kategorikan politisi bermasalah.

Menurut A. Syafii Maarif (2004) yang disampaikan pada Republika (05/01/04) “politisi bermasalah ialah politisi yang memiliki sejumlah masalah seperti melakukan pemalsuan atau penipuan ijazah, identitas, seorang avoutorir atau terlibat banyak korupsi.” Sedangkan versi MPMI dalam siaran persnya mengatakan bahwa “politis bermasalah adalah mereka yang terlibat kasus kolusi, korupsi, dan nepotisme, pelecehan seksual, pengrusakan lingkungan, pelanggar hak asasi manusia (HAM).

Dari dua pandangan tersebut maka dapat diajukan beberapa kriteria bahwa sorang politisi dikatan bermasalah apabila : (1) terlibat kasus KKN, termasuk mereka yang menjarah dan penjual harta rakyat, (2) pelanggar HAM alias praktek premanisme politik, (3) pecandu narkotik, (4) terlibat perbuatan asusila, dan (5) para parusak lingkungan yang mengeruk tanah rakyat, hutan dan menjualnya keluar negeri. Praktek-praktek tersbut telah menjadi wabah endemik yang menjangkiti para elit, baik mereka yang mengklaim diri reformis tak berdosa, apatah lagi memang mereka yang tidak menghendaki terjadinya perubahan ditubuh bangsa besar ini.

Dalam orasinya pada launching gerakan anti politisi bermasalah Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa tujuan gerakan anti politisi bermasalah ini adalah bagaimana membangkitkan nurani rakyat yang kini terasa tumpul. Sebab masyarakat kita memang belum terbiasa oleh tradisi lapor-melapor. Masyarakat Indonesia masih dalam tradisi feodalistik dan patrimonial sehingga melahirkan pola hubungan sosial yang serba vertikal-top down dan manunggu perintah dari yang “mulia.” Hal inilah yang membuat jarak antara pemimpin dengan masyarakatnya. Akibatnya adalah terjadinya berbagai keanehan dan kejanggalan dalam perilaku para aktor atau elit. Kalau demikian masalahnya maka bayangan masyarakat demokratis atau terwujudnya civil society sebagaimana kita harapkan mustahil terwujud.

Pentingnya Etika Politik
Dalam daur politik semacam diatas maka, etika politik perlu untuk dikedepangkan. Karena etika politik akan memberikan pertanyaan atau penjelasan teoritis mengenai legitimasi, orientasi, dan landasan normatif sebuah perilaku atau tindakan seorang politisi. Menurut Franz Magnis Suseno (1991)—Guru besar filsafat STF Driyarkara Jakarta—bahwa “etika politik adalah perangkat pertanyaan-pertanyaan kritis atau pertanyaan filosofis sehingga tidak bisa memberikan keharusan-keharusan (das Sollen) bagi seorang politisi dalam setiap praktek politiknya. Etika politik tidak menyediakan tata tertib atau panduan berpolitik, melaingkan berkepentingan untuk memeriksa dan membongkar kesadaran semu seorang dalam berpolitik. Etika politik akan mengajukan berbagai pertanyaan kritis tentang pilihan sikap dan tindakan politik seseorang dan bagaimana pilihan sikap dan tindakan politik itu memperoleh legitimasi yang rasional dan obyektif, tanpa prasangka, emosi, dan alasan apriori.”

Dalam masyarakat yang sedang berada pada perubahan politik, sosial, dan ekonomi dimana proses-proses politik yang dilakukan menunjukkan ketidak bermoralan atau praktek politik yang bermasalah-busuk maka, sungguh lahirnya masyarakat dari golongan manapun untuk bersuara atas nama moral sangat didambakan. Sebab jika tidak, maka harapan perubahan Indonesia kepada yang lebih baik akan sirna. Sebab perilaku-perilaku yang secara kasat mata (sebut saja KKN, Narkoba, penjarahan harta rakyat atas nama privatisasi, dll) dan berada dipelupuk mata kita tidak direspon dengan sikap apapun, maka pada saat itu jadilah masyarakat meminjam istilahnya Poulo Freire sebagai “kebudayaan bisu” yaitu suatu kondisi kultural dimana ciri utamanya yaitu ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri sehingga “diam” dianggap sesuatu yang sakral, sikap sopan, dan harus ditaati.

Mundur; Langkah Sadar Diri
Gerakan anti politisi bermasalah yang dilakukan oleh elemen mahasiswa dan NGO memang sudah selayaknya terjadi. Karena kampanye semacam itu merupakan bagian dari ciri demokratisasi. Sehingga kepada para politisi yang merasa memiliki kriteria sebagaimana dimaksudkan diatas maka, barangkali bisa sadar diri dan secara legowo mundur dari pencalonan anggota legislatif sebagai pertanggungjawaban moral atas nama masa depan bangsa.

Dipenghujung tulisan ini saya ingin mengutipkan pernyataan A. Syafii Maarif dalam kolom resonansinya di harian Republika (6/1/04) bahwa “kita sudah punya Forum Rektor, Gerakan lintas agama, Forum Muhammadiyah-NU, Gerakan Mahasiswa pemantau pemilu, NGO, dan banyak yang lain. Semua kekuatan itu barangkali perlu duduk bersama menyusun lengkah yang sama untuk kemudian bersuara: bebaskan pemilu 2004 dari para koruptor dan politisi yang tidak bertanggungjawab. Wallahu a’lam bissawab

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter