Catatan Pemikiran dan Refleksi

Monday, January 04, 2010

Posted by dg situru' | Monday, January 04, 2010 | No comments
Pasca 1998 terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam demokrasi politik nasional. Pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung. Terbukanya ruang yang begitu bebas dibandingkan rezim orde baru. Ekspresi individual begitu diberikan ruang yang sangat lebar. Desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah.

Seiring dengan desentralisasi pemerintahan. Pasca 1998, juga telah dilaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang dimulai sejak tahun 2005. Situasi ini begitu gegap gempita, hampir disetiap waktu dilaksanakan Pilkada dengan biaya yang sangat besar.


Dalam konteks ini, saya kira kita perlu merefleksikan kembali beberapa kenyataan-kenyataan dan tragedi politik yang amat memilukan. Dalam kasus pilkada ini nampak bagaimana politik menjadi sebuah industri yang menggiurkan. Cobalah tengok defenisi sederhana dari industri. Wikipedia menyebut bahwa industri secara umum adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode yang sama dalam menghasilkan laba.

Sementara bisnis sendiri memiliki pengertian suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Sedangkan laba ialah peningkatan kekayaan seorang investor sebagai hasil penanam modalnya, setelah dikurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan penanaman modal tersebut.

Dalam konteks pilkada dan pilpres di Indonesia, politik telah tumbuh menjadi sebuah industri. Lihatlah bagaimana pendekatan-pendekatan yang dilakukan seorang calon presiden atau kepala daerah tak ubahnya sebuah proses bisnis. Disana ada suply and demand. Ada tawar menawar, ada promosi, iklan dan lain sebagainya.

Jika dicermati dalam situasi seperti ini, maka janganlah heran jika banyak sekali terjadi kolusi, manipulasi dan praktek-praktek korupsi di Indonesia. Karena cost politik yang demikian melangit.

Partai politik di Indonesia tak ubahnya mobil rentalan. Disana terjadi negosiasi harga dan konsesi-konsesi lainnya. Kalau mereka pas, seorang calon kepala daerah bisa menumpangi partai X dalam proses pencalonannya. Betapa hancurnya sistem politik kita, jika model-model seperti ini terus berlanjut. Padahal politik itu kan bagaimana merebut kekuasaan dan mengelola kekuasaan untuk kepentingan publik melalui proses regulasi yang berpihak kepada masyarakat yang lebih luas. Indah sekali kan teorinya!

Sebagai sebuah industri, maka tujuan akhir dari sebuah proses bisnis adalah laba. Lihatlah para elit-elit politik kita. Semakin kaya raya. Akibat akumulasi kapital yang beredar di kalangan politisi. Sementara rakyat kecil yang banting tulan dan keringat tetap melarat, miskin dan tertindas. Mereka para elit politik apalagi yang sudah duduk di lembaga legislatif, amat sederhana untuk mendapatkan uang, cukup mengunjungi proyek-proyek pemerintah dengan dalih pengawasan. Maka mereka akan mendapat service dari kontraktor, oleh-oleh baik itu amplop atau lainnya. Sebab kalau tidak, bisa diobrak-abrik dan dibahas di dewan.

Sungguh ironis negeriku. Ditambah krisis ekonomi dan lapangan kerja yang semakin tertutup, maka tahun 2009 ini merupakan arena adu nasib bagi banyak orang. Jangan heran jika dari 44 partai politik peserta pemilu, mereka tak kekurangan sama sekali calon anggota legislatif, sebab ini bagian dari pekerjaan.

Lalu apa yang kita bisa harap dari situasi seperti itu. Kalau AA Gym menawarkan mulailah dari diri sendiri. Mungkin AA Gym ada benarnya, tapi harus ada gerakan masyarakat sipil yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga keagamaan dan LSM untuk memberikan pendidikan politik dan kesadaran warga tentang hakekat politik dan perjuangan struktural. Mengubah paradigma berfikir dalam rangka mentransformasikan Indonesia yang lebih baik, Wa Allahu A'lam.

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter