Skip to main content

Neraka kah tempatku ?

Di umurku yang sudah berhak memilih saya tak menggunakan hak pilih saya. Ketika itu tahun 1999. Pemilu demokratis pertama yang dilaksanakan pascareformasi. Alasannya sederhana saja, saya tak sempat memilih. Saya sibuk. Amanat yang saya sandang sebagai pemantau pemilu (KIPP) saya gengam erat. Saya ketua tingkat kecamatan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Dan mengingat betul doktrin amanah yang dilatihkan di training IRM. Sehingga tak mau melewatkan secuil pun proses pemilihan dan penghitungan di TPS yang paling rawan penyelewengan.

Lima tahun kemudian, pemilu 2004 saya masih seperti pemilu sebelumnya. Saya tak memilih baik legislatif, DPD dan presiden sekali pun. Padahal, sebagai aktivis Muhammadiyah, saya memiliki keterkaitan secara historis dengan salah satu calon presiden (M. Amien Rais). Ketika itu saya harus mengurusi pemilu legislatif, DPD dan Presiden.


Saya mendapat mandat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diteken oleh Ketua KPU, Prof. Nasaruddin Syamsuddin sebagai koordinator entri data di Enrekang, Sulawesi Selatan. Saya mengkoordinasi kabupaten tersebut. Medannya luar biasa berat. Bergunung-gunung, sebab Enrekang merupakang kaki gunung Bawakaraeng. Saya menyaksikan betapa luar biasa pelaksana pemilu ditingkat kecamatan dan desa. Mereka harus menggunakan Kuda untuk mengangkut kotak suara dari ibu kota kabupaten.

Kini setelah hampir sepuluh tahun berlalu, kondisi tak banyak berubah. Wakil rakyat yang dipilih orang-orang lakunya tak sesuai tutur katanya. Kelakuannya seperti si kucing garong. Oleh Syafii Ma'arif dikritik sebagai politisi rabun ayam. Jenis politisi yang hanya bisa melihat dollar, perempuan dan kekuasaan.

Rentetan peristiwa memalukan terjadi dan direncanakan di gedung wakil rakyat itu. Tempat itu menjadi sarang korupsi. Disana pula selingkuh terjadi. Berbagai manipulasi. Satu demi satu mereka diringkus oleh KPK karena kedapatan mencuri. Ada diringkus di Hotel karena menggauli perempuan. Ironis, sampai disitulah karir mereka. Dalam hati saya bergumam, untung saya tidak memilih.

Partai Islam pun tak jauh beda kelakuannya. Mereka korup juga. Nyogok juga. Nerima suap juga. Menggunakan segala cara demi target politik jangka pendek. Yang membuat Islam semakin hina, semakin jauh dari kesuciannya.

Beberapa hari yang lalu, di tempat kelahiran ulama kharismatik, Prof. HAMKA yang ketua MUI pertama. Forum ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI memutuskan haramnya merokok dan Golput. Yang oleh HAMKA sendiri tidak dilakukan dizaman ia memimpin MUI.

Saya juga bingung dengan keputusan pengharaman Golput itu. Jika sekiranya keputusan itu dihitung mundur, maka dosa saya sudah luar biasa. Saya sudah dua kali tidak memilih.

Jika kita umpamakan Pilkada Jateng, dimana Golputnya sekitar 40%, maka ada sekitar itu yang melaksanakan dosa secara berjamaah dalam waktu yang bersamaan. Sementara kita diperhadapkan pada kualitas pilihan yang oleh teman saya disebut, walaya mutu wala yahya, tidak bermutu menghabiskan biaya.

Saya yang sedang berniat untuk tidak memilih lagi akhirnya jadi bingung. Dalam hatiku bergumam, untunglah majelis tarjih tidak memutuskan hal yang sama. Bagi Muhammadiyah, pilihan politik itu wilayah ijtihadi yang sifatnya personal.

Tapi mudah-mudahan dengan tidak memilih lagi. Saya dan yang golput lainnya tidak di ganjar gara-gara fatwa membingungkan ini. Begitu mudahnya mengeluarkan fatwa. Mohon maaf ya Allah, jika saya Golput. Saya cuman tidak ingin kualitas anggota DPR saya diisi oleh orang-orang yang otaknya cuman duit, selengkangan dan keduniaan lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

Pemamfaatan GIS dalam Dakwah Muhammadiyah

Dalam sebuah forum pengajian Ramadhan tahun 2010 yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah terlontar kegundahan banyak peserta. Apa pasalnya? Setiap periode, Muhammadiyah memprogramkan penyusunan peta dakwah, tapi tidak pernah bisa direalisasikan. Masalahnya bukan tidak bisa nyusun? Apalagi tidak punya sumberdaya. Problem utama saya kira ketidak jelasan fungsi manajemen dalam struktur PP Muhammadiyah yaitu, siapa yang bertugas dalam penyusunan peta dakwah itu. Di abad ini, dimana perkembangan teknologi yang sangat maju maka, mengandalkan peta dakwah konvensional sudah saatnya ditinggalkan. Salah satu teknologi pemetaan yang sangat efisien ialah bagaimana pemamfaatan sistem informasi geografis (SIG/GIS) dalam menyusun peta dakwah Muhammadiyah. Apa itu GIS dan kenapa Muhammadiyah harus memakai teknologi ini? GIS ialah sistem infomasi berbasis komputer yang menggabungkan antara unsur peta (geografis) dan yang dirancang untuk mendapatkan, mengolah, memanipulasi, informasinya tentang p...

Perubahan Sosial dan Dinamika Gerakan Mahasiswa

Pengantar Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan ekstraparlemen yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Gerakan mahasiswa baik sebelum ataupun pasca tahun 1998 bagi saya tidak bisa dipisahkan dari ruang dan waktu dimana entitas mahasiswa itu hadir. Karena itu gerakan mahasiswa selalu ...

Strategi Pendampingan Kader IPM

Salah satu konsepsi penting yang dilahirkan dari Semiloka Kader tahun 2002 di Makassar ialah pendampingan. Konsep pendampingan dalam konstruksi semiloka kader Makassar merupakan satu bangunan dengan fasilitator. Dalam sistem perkaderan IPM disebut dengan pelatihan fasilitator dan pendampingan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia fasilitator diartikan sebagai orang yang menyediakan fasilitas. Dalam konteks pelatihan maka, fasilitator berfungsi melancarkan proses belajar, menyediakan informasi baru, dan memperkaya pengalaman peserta. Sementara pendampingan berarti menemani atau menyertai peserta dampingan dari dekat. Dalam konteks pemberdayaan pendampingan berarti pola dukungan. Bentuknya seperti dukungan personil, tenaga pendamping, relawan atau pihak lain yang memberikan penerangan, dukungan teknis, dan penyadaran. Sejak dirumuskan di Makassar tahun 2002 yang lalu, konsepsi pendampingan tidak pernah lagi dibicarakan. Padahal, konsepsi tersebut masih bersifat umum. Sehingga tidak bi...