Catatan Pemikiran dan Refleksi

Monday, January 04, 2010

Posted by dg situru' | Monday, January 04, 2010 | No comments
Di umurku yang sudah berhak memilih saya tak menggunakan hak pilih saya. Ketika itu tahun 1999. Pemilu demokratis pertama yang dilaksanakan pascareformasi. Alasannya sederhana saja, saya tak sempat memilih. Saya sibuk. Amanat yang saya sandang sebagai pemantau pemilu (KIPP) saya gengam erat. Saya ketua tingkat kecamatan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Dan mengingat betul doktrin amanah yang dilatihkan di training IRM. Sehingga tak mau melewatkan secuil pun proses pemilihan dan penghitungan di TPS yang paling rawan penyelewengan.

Lima tahun kemudian, pemilu 2004 saya masih seperti pemilu sebelumnya. Saya tak memilih baik legislatif, DPD dan presiden sekali pun. Padahal, sebagai aktivis Muhammadiyah, saya memiliki keterkaitan secara historis dengan salah satu calon presiden (M. Amien Rais). Ketika itu saya harus mengurusi pemilu legislatif, DPD dan Presiden.


Saya mendapat mandat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diteken oleh Ketua KPU, Prof. Nasaruddin Syamsuddin sebagai koordinator entri data di Enrekang, Sulawesi Selatan. Saya mengkoordinasi kabupaten tersebut. Medannya luar biasa berat. Bergunung-gunung, sebab Enrekang merupakang kaki gunung Bawakaraeng. Saya menyaksikan betapa luar biasa pelaksana pemilu ditingkat kecamatan dan desa. Mereka harus menggunakan Kuda untuk mengangkut kotak suara dari ibu kota kabupaten.

Kini setelah hampir sepuluh tahun berlalu, kondisi tak banyak berubah. Wakil rakyat yang dipilih orang-orang lakunya tak sesuai tutur katanya. Kelakuannya seperti si kucing garong. Oleh Syafii Ma'arif dikritik sebagai politisi rabun ayam. Jenis politisi yang hanya bisa melihat dollar, perempuan dan kekuasaan.

Rentetan peristiwa memalukan terjadi dan direncanakan di gedung wakil rakyat itu. Tempat itu menjadi sarang korupsi. Disana pula selingkuh terjadi. Berbagai manipulasi. Satu demi satu mereka diringkus oleh KPK karena kedapatan mencuri. Ada diringkus di Hotel karena menggauli perempuan. Ironis, sampai disitulah karir mereka. Dalam hati saya bergumam, untung saya tidak memilih.

Partai Islam pun tak jauh beda kelakuannya. Mereka korup juga. Nyogok juga. Nerima suap juga. Menggunakan segala cara demi target politik jangka pendek. Yang membuat Islam semakin hina, semakin jauh dari kesuciannya.

Beberapa hari yang lalu, di tempat kelahiran ulama kharismatik, Prof. HAMKA yang ketua MUI pertama. Forum ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI memutuskan haramnya merokok dan Golput. Yang oleh HAMKA sendiri tidak dilakukan dizaman ia memimpin MUI.

Saya juga bingung dengan keputusan pengharaman Golput itu. Jika sekiranya keputusan itu dihitung mundur, maka dosa saya sudah luar biasa. Saya sudah dua kali tidak memilih.

Jika kita umpamakan Pilkada Jateng, dimana Golputnya sekitar 40%, maka ada sekitar itu yang melaksanakan dosa secara berjamaah dalam waktu yang bersamaan. Sementara kita diperhadapkan pada kualitas pilihan yang oleh teman saya disebut, walaya mutu wala yahya, tidak bermutu menghabiskan biaya.

Saya yang sedang berniat untuk tidak memilih lagi akhirnya jadi bingung. Dalam hatiku bergumam, untunglah majelis tarjih tidak memutuskan hal yang sama. Bagi Muhammadiyah, pilihan politik itu wilayah ijtihadi yang sifatnya personal.

Tapi mudah-mudahan dengan tidak memilih lagi. Saya dan yang golput lainnya tidak di ganjar gara-gara fatwa membingungkan ini. Begitu mudahnya mengeluarkan fatwa. Mohon maaf ya Allah, jika saya Golput. Saya cuman tidak ingin kualitas anggota DPR saya diisi oleh orang-orang yang otaknya cuman duit, selengkangan dan keduniaan lainnya.

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter