Catatan Pemikiran dan Refleksi

Monday, January 04, 2010

Posted by dg situru' | Monday, January 04, 2010 | No comments
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan, sangat mengingingkan keselamatan bagimu” (Q.S. [9] : 128)
“saya memasuki Islam, tanpa mengingkari apa yang pernah dibawakan Yesus dalam hidup saya, karena Yesus dalam Qur’an adalah nabi Islam. Saya juga tidak mengingkari apa yang telah diajarkan marxisme kepada saya untuk menganalisa masyarakat kita agar dapat bertindak didalamnya secara efisien, karena aqidah Islam tidak menolak sains atau teknik apapun, tetapi sebaliknya mempersatukan dan menempatkan dijalan Allah ........” (Roger Garaudy, 1984)

Risalah Pengantar:
Advokasi Sosial Dalam Terang Wahyu

Namanya Muhammad bin Abdullah. Ketika usianya memasuki masa remaja, ia menemukan masyarakat Mekkah berkubang dalam penyimpangan-penyimpangan etik sosial. Perbudakan telah menghasung nilai-nilai kemanusiaan. Kepentingan kapital berjuis menghasilkan perdagangan riba, praktek ekonomi yang eksploitatif. Mitos tentang aib anak perempuan mitif dan latar belakangnya adalah materi, yang lalu berujung pada penguburan hidup-hidup bayi perempuan (Q.S. [81] : 8 - 9). Relasi sosial menjadi timpang. Komulasi kapital pada segelintir orang (konglomerat borjuis) mendedehkan mayoritas tertindas.

Di tengah kondisi sosial yang kian miris, ia lalu memutuskan melakukan kontemplasi spiritual (khalwat), disebuah tempat yang dalam sejarah disebut gua Hira’. Selama masa yang cukup panjang dalam pendakian spiritualnya, ia tak hanya mengisi malam-malamnya dengan munajat, namun juga menjalani hari-harinya dengan derma dan memberi makan kepada orang-orang miskin. Tuhan kemudian menyapanya, wahyu pertama turun (Q.S. [96] : 1-5 ) dan inilah yang menandai lahirnya sebuah konsepsi kritikal terhadap sistem sosial yang lama. Dalam terang wahyu agama tersebut, Muhammad menjadi nabi utusan Tuhan untuk melakukan pencerahan, pendampingan dan pembelaan (3P, he ... he ... IRM bangat ) struktural maupun kultural terhadap kaum yang tertindas dalam dua stage. Pertama, membangkitkan harga diri rakyat tertindas, berada dan bergerak bersama para hamba sahaya dan orang-orang miskin. Kedua, sebagai pemimpin dan pembebas kaum tertindas, beliau memilih hidup seperti mereka.

Islam dan Responsibilitas: Membela Kaum Tertindas
“Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki maupun anak-anak yang semuanya berdoa; ‘ya tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi engkau (Q.S. [4] : 75 )“.

Asghar Ali Engineer mengutip Khaury, seorang penulis kristen Lebanon yang menulis tentang misi awal Islam; “Betapa sering kita mendengar panggilan muazzin dari menara masjid kota Arab yang abadi ini, Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa sering kita membaca atau diceritakan bahwa Bilal dari Abbesenia, adalah orang pertama yang membuat semenanjung Arabia bergema dengan panggilan ini, pada waktu misi Nabi sedang berada pada pertumbuhannya, saat itu ia menanggung penyiksa dari para penganiaya dan orang-orang konservatif yang keras kepala. Adzan Bilal adalah seuntai “genderang pengiring” awal dari suatu perjuangan antara suatu zaman yang akan berakhir dan suatu zaman yang mataharinya menyingsingkan keadilan. Tetapi sudah pernahkah engkau merenungkan tentang apa yang berkaitan dengan panggilan itu dan apa makna yang dikandungnya? Apakah engkau ingat, setiap kali engkau mendengar gema dari panggilan sejati itu? Apa maksud Allahu Akbar? Dalam bahasa sederhana; hukum lintah darat yang rakus! Tuntut pajak orang yang menumpuk keuntungan! Sita harta para monopolis pencuri itu! Bagikan roti pada rakyat! Buka jalan pendidikan dan kemajuan bagi perempuan! Hancurkan semua orang yang hina yang membentangkan kesombongan dan membuat ummat menjadi berkelas-kelas! Cari ilmu walau sampai kenegeri China (China sekarang tidak hanya sekedar China masa lalu), biarkanlah bintang-bintang kebebasan dan demokrasi sejati bercahaya terus menerus”.

Islam sebagai gerakan keagamaan, tidak hanya menyangkut spiritualitas, tetapi lebih jauh dari itu ia adalah locus kepedulian dari pembentukan masyarakat adil, bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan, dalam bentuk apapun. Engineer kemudian merekomendasikan defenisi ulang terhadap beberapa istilah yang sering digunakan dalam Qur’an seperti; kufr, iman dan tauhid. Istilah-istilah tersebut memiliki konotasi dan implikasi sosial. Kufr, misalnya tidak melulu berarti penolakan secara formal terhadap agama, akan tetapi orang menjadi kufr karena tidak memiliki sensitifitas sosial, melakukan penumpukan kekayaan, penindasan dan eksploitasi. Dalam salah satu surah misalnya al-Qur’an menuturkan dengan indah

“ Tahukan kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (Q.S. [107] : 1-3)”

Konsep sentral lainnya dari Islam adalah tauhid, dalam perspektif tradisional, mengacu pada keesaan Allah. Dalam paradigma pembebasan dan transformasi sosial, tauhid takkan mentolerir diskriminasi, hegemoni dan ketidakadilan, serta secara jelas menentang semua institusi yang menindas. Iman senantiasa diikuti dengan kosa kata amal saleh, oleh Kuntowijoyo amala saleh dimaknai sebagai revolusi sosial.

Dalam beberapa hadist, seperti dipaparkan oleh Jalaluddin Rakhmat, Nabi menjelaskan iman dengan indikator-indikator kepedulian terhadap kelompok merginal (pheriperal). “Tidak beriman kepadaku mereka yang tidur kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan disampingnya”, demikian kata Nabi dalam riwayat Tabrani dan Al Bazzar. Dengan demikian, iman menjadi proses internal kenyataan dan dorongan menuju perubahan, bukan mencari penyesuaian dengan kenyataan. Seperti apa yang dikatakan oleh Roger Garaudy, “iman memasukkan kita kedalam pertarungan dengan kenyataan”. Maka agama, pentulan dari kenyataan, tetapi juga protes terhadap kenyataan sekaligus proyeksi terhadap kenyataan lain.

Al Qur’an menurut Mulkhan, bukanlah sebuah kitab yang hanya berbicara tentang tuhan, surga, setan atau malaikat, makhluk ghaib, kematian dan akhirat. Melaingkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan segala isinya beserta masalah kemanusiaan. Semua masalah teologi tersebut, oleh Al Qur’an, dibicarakan dalam kerangka kemanusiaan. Agama kemudian mewujudkan menjadi praksis sosial untuk meretas problem manusia. Untuk itu segera harus difahami, bahwa beragama (Islam) meniscayakan tanggung jawab sosial dalam rangka pembelaan (advokasi) kaum tertindas (proletar – mustadha’afin).

Kesadaran Nubuwah Menuju Aktivisme Sejarah

Para Nabi senantiasa memperjuangkan monoteisme (Tauhid), dalam segenap perbuatan, tujuan dan dedikasih mereka. Kazou shimogaki, menggambarkan pandangan dunia Tauhid, dalam kehidupan sosial muslim sebagai berikut :

“Dalam tauhid secara logis dapat ditarik pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah esa. Menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan. Menempatkan manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan. Ke-esaan tuhan berarti juga keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan kewadagan, antara keagamaan dan keduniawian. Dengan memahami seluruh aspek kehidupan diatur oleh satu hukum dan tujuan seluruh muslim bersatu dalam kehendak Allah”.

Tauhid, dengan demikian, merupakan lokus kecintaan kemanusiaan dalam proyeksi ilahiah. Dalam kaitan Tauhid sebagai evolusi kenabian, menarik untuk mengikuti apa yang disebut oleh Murtadha Muthahhari ‘Daur Tuhan’. Para nabi, pada awal perjalanannya dimulai dari cinta yang sangat dalam kepada tuhan. Cinta ini kemudian mendorong nabi untuk berjalan menuju tuhannya, untuk sebuah evolusi kenabian. Fase ini disebut “perjalanan dari mahluk menuju khalik”. Kekariban dengan ambang tuhan, oleh Iman Ali AS, disebut sebagai muara (maqam) yang penuh damai.

Akhir dari perjalanan itu adalah awal dari perjalanan lain, yaitu fase kedua yang dinamakan “perjalanan dalam kebenaran dengan kebenaran”, pada tahap ini nabi tidak kemudian berhenti, seperti seorang sufi yang berkata, “aku bersumpah demi Allah, jika mampu mencapai tempat itu, aku tak akan pernah kembali ke bumi”. Akan tetapi setelah dikaruniai kebenaran paripurna, melintasi ‘daur tuhan’, dan mengenali krama ‘maqam’, mereka ditunjuk sebagai nabi dan memulai perjalanan ketiga yaitu “perjalanan dari tuhan ke arah manusia”. Inilah perjalanan yang menjadi penanda dimulainya aktivisme sejarah, menjelajah diantara manusia untuk melakukan transformasi sosial, dengan pisau intelektualitas dan bara ingatan akan tuhan. Kembalinya nabi ke arah manusia, ini menandai permulaan perjalanan dan kisaran evolusi keempat nabi.

“Kini telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaannya. Ia sangat menginginkan (keselamatan dan keimanan bagimu, umat welas asih lagi penyayang”. (Q.S. [9] : 129 )

Maka tauhid merupakan tiang pancang kesadaran nubuwah meniscayakan lahirnya tanggung jawab sosial, membangkitkan kecakapan alami insaniah, dan mencerahkan naluri ghaib serta cinta kasih tersembunyi pada eksistensi manusia.

Transformasi Sosial; Agama Sebagai Candu atau Pembebas
Ditengah masyarakat Eropa, Karl Heinrich Marx menyaksikan, betapa fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat “meninabobokan” dengan janji penyelamatan akhirat diatas penderitaan dan kelaparan. Lembaga-lembaga agama (kristen ketika itu) dan pemimpin agama telah memainkan peranan diluar misi agama sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama menjadi alat legalisasi kekuasaan yang menguntungkan segelintir elit. Andi Muawiyah Ramli menuliskan kembali kritik Marx terhadap agama :

“Agama adalah kesadaran diri dan perasaan pribadi manusia, disaat ia belum menemukan dirinya atau disaat ia telah kehilangan dirinya. Tetapi manusia itu bukanlah sejenis mahkluk abstrak yang berjuang diluar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat. Negara, masyarakat itu menghasilkan agama, yang merupakan suatu kesadaran terhadap dunia yang tidak masuk akal. Agama adalah teori tentang dunia, ensiklopedia compendium ... ia adalah realisasi fantastis mahkluk manusia, sebab ia tidak memiliki realitas yang sungguh jadi ... kesengsaraan religius di satu pihak adalah pernyataan dari kesengsaraan nyata, dan dilain pihak sebagai suatu protes terhadap kesengsaraan yang nyata itu. Agama adalah keluh kesah mahkluk tertindas jiwa dari suatu dunia yang tidak berkalbu, seperti halnya ia merupakan roh dari suatu kebudayaan yang mengenal roh. Agama adalah candu bagi rakyat”.

Dengan demikian pada akhirnya agama tidak lebih dari ilusi-ilusi sehingga menurut Marx :

”Penghapusan agama sebagai suatu kebahagiaan palsu bagi rakyat adalah kebahagiaan nyata bagi rakyat, itulah tuntutan-tuntutan palsu untuk menolak suatu keadaan yang membutuhkan ilusi-ilusi. Maka kritik agama pada dasarnya adalah kritik terhadap lembah air mata yang mahkotanya adalah agama”

Menurut Michael Lowy ungkapan Marx diatas lebih menyimpan nuansa ketimbang benar-benar percaya. Analisis itu bersifat dialektis karena menyatakan watak penuh saling pertentangan dari gejala keagamaan, pada saat tertentu menjadi kekuatan penentang melawan kemapanan itu. Jadi sesungguhnya Marx tetap mempertimbangkan watak ganda dari agama.

Lalu bagaimana dengan Islam? Mansour Faqih mempetakan gerakan Islam dalam respon fenomena sosial yang berkembang dengan empat paradigma, yakni paradigma tradisionalis, modernis, revivalist dan transformatif.

Pertama, paradigma tradisionalis percaya bahwa permasalahan kemiskinan ummat pada hakekatnya ketentuan dan rencana Tuhan. Masalah kemiskinan dan marginalisasi difahami sebagai ”ujian” atas keimanan. Akar teologis paradigma ini bersandar pada konsep sunni (aliran Asy’ariyah), mengenai predeterminism (takdir), yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum diciptakannya alam. Meskipun manusia didorong untuk berusaha, akhirnya tuhan yang mutlak menentukan.

Kedua, paradigma modernis atau Islam liberal. Mareka menangkap bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin pada dasarnya berakar pada persoalan ”karena ada yang salah dalam sikap mental, budaya, ataupun teologi yang mereka pegangi”. Asumsi dasar mereka adalah bahwa keterbelakang umat Islam karena mereka melakukan sakralisasi terhadap semua aspek kehidupan, maka diperlukan agenda sekularisasi agama. Jadi yang salah adalah si korban sendiri, tanpa melihat faktor lain (struktur sosial).

Ketiga, paradigma revivalist atau fundamentalis, mereka meyakini bahwa faktor penyebab keterbelakangan ummat dikerenakan ummat memakai ideologi atau ”isme” yang lain sebagai pijakan dasar ketimbang menggunakan Al-Qur’an. Keempat, paradigma transformatif, adalah fikiran alternatif terhadap ketiga paradigma diatas. Mereka percaya bahwa kemiskinan rakyat, termasuk kaum muslim, disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik maupun kultur. Sehingga yang niscaya untuk dilakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan kultur tanpa hegemoni, refresi diatas penghormatan terhadap hak asasi manusia (human raight).

Keadilan menjadi prinsip fundamental dari paradigma ini. Fokus kerja mereka adalah mencari akar teologis, metodologi dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Pemihakan terhadap kaum miskin dan tertindas ( proletar – musatdha’afin ) tidak hanya diilhami oleh al-Qur’an, tetapi juga hasil analisis kritis terhadap struktur yang ada. Islam bagi mazhab ini harus difahami sebagai agama pembebasan bagi mereka yang tertindas serta mentransformasikan sistem sosial yang eksploitatif menjadi sistem yang adil.

Dengan demikian tanggungjawab sosial ( social responsibility ) merupakan keniscayaan bagi mereka yang menyatakan diri kaum beriman. Kemiskinan boleh jadi sudah disepakati sebagai masalah sosial, tetapi penyebab dan bagaimana cara mengatasinya bergantung pada ideologi dan paradigma yang dipergunakan, sebagai proyeksi sosial keagamaan kita.

Khulasah
Selamat Tinggal Muslim Naif
Selamat Bergabung Muslim Progresif
( Kuntowijoyo )

”Inilah kata kataku yang terakhir bagi kaum muslim dan rakyat tertindas diseluruh dunia, kalian tidak boleh berpangku tangan, menunggu diberi anugerah kemerdekaan dan kebebasan oleh yang berkuasa di negeri kalian atau oleh kekuasaan asing. Kalian, wahai rakyat tertindas judulnya, wahai negeri muslim, bangun! Ambillah hak kalian dengan gigi dan cakar kalian” (Ayatullah Khomeini)

Perutnya buncit, tentu saja bukan karena busung lapar, tapi karena tumpukan lemak. Ia sering menyebut diri dan partainya sebagai pembela wong cilik. Istrinya adalah presiden anda sekarang ini, yang berkali-kali mengajak rakyat untuk hidup prihatin dan sederhana. Tetapi betapa memilukan dan memuakkan, ditengah basic need yang makin sulit dijangkau masyarakat kecil, Taufik Kiemas ( suami presiden anda itu ) merayakan ulang tahunnya di pulau dewata Bali, dengan menghabiskan uang sepuluh milyar rupiah.

Seperti tidak mau kalah orang nomor dua di negeri ini (wapres), yang partainya partai Islam, yang kadang tampil dalam pakaian ulama, memboyong seluruh keluarganya naik haji. ”Saya dan keluarga naik haji dengan uang sendiri” ucapnya. Tetapi ia tidak jujur. Sejumlah pengawal, ajudan, petugas protokoler kenegaraan yang ’terpaksa’ ikutan, biayanya tentu saja menggunakan uang rakyat (Negara).

Kuntowijoyo pernah menulis cerpen, ”Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Dalam cerpen tersebut diceritakan tentang adanya orang tua yang berkata, ” kalau nafsu mengalahkan budi, orang tidak akan mendapatkan ketenangan jiwa ”. Barangkali mereka, para penguasa itu tetap saja senyum kemana mana sambil mengumbar janji-janji politik. Subagyo Sastrowardoyo lalu menyindir mereka dalam puisinya :

Mereka membuat rel dan sepur
Hotel dan kapal terbang
Mereka membuat sekolah dan kator pos
Gereja dan restoran
Tapi tidak buatku
Tidak buatku

Para penindas itu, kadang bersembunyi dibalik eupemisme agama, seperti yang pernah dikatakan Immanual Kant, ”Agama hanya dalam batasan akal. Sebuah keimanan yang palsu dan hidup subur dalam negeri yang memegang keculasan dengan bendera kebajikan”, kita kemudian harus memahami kenyataan bahwa diantara kita belum ada yang berani berdiri tegak menentang kezaliman di negeri ini dengan jiwa penuh ketulusan. Kita ternyata selalu saja disibukkan untuk membangun ”puzzle” gengsi sosial dan pemenuhan status material yang membawa kita dalam lingkaran pragmatisme.

Meski demikian saya akan senantiasa meyakini, bahwa ada ( dan bisa jadi sudah ada ) kelompok anak muda yang dengan penuh ketulusan membentuk dirinya sebagai agent perlawanan terhadap rezim despotik – lalim. Dipenghujung tulisan ini, akan kukutipkan seruan uskup Nikaragua dalam melawan kediktatoran Somoza, lewat pernyataannya yang diberi nama ”pesan kepada ummat” :

”Kita tidak dapat Cuma berdiam diri ketika bagian terbesar negeri menderita dalam keadaan kehidupan yang tidak manusiawi sebagai hasil dari pembagian kekayaan yang tidak adil dari sudut pandang apapun ......... jika kematian dan hilangnya banyak warga negara di kota-kota dan desa-desa tetap menjadi misteri ... ... ... jika hak warga negara untuk memilih penguasa mereka dikelabui permainan politik berbagai pihak ..........”.

Karena itu :
Demi Indonesia
Demi Kemanusiaan
untuk Para Penindas
Cukup Satu Kata
Lawan!

Ditulias tatkala Rezim Megawati Memerintah Republik

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter