Catatan Pemikiran dan Refleksi

Monday, January 04, 2010

Posted by dg situru' | Monday, January 04, 2010 | No comments
Krisis ekonomi telah merontokkan fundamental ekonomi negara adidaya, USA. Kalau saya sih, melihat sebenarnya bukan krisis ekonomi biasa, yang dipicu oleh financial crisis. Tapi menurutku ini merupakan krisis paradigma. Atau merupakan kegagalan kapitalisme dalam menjawab tantangan rill ekonomi. Sehingga krisis ekonomi di USA menurutku bukan krisis financial semata, tapi krisis kapitalisme.

Lalu kenapa hanya USA yang krisis kok di Indonesia sangat terasa? Ingat, bahwa kita ini hidup dalam suatu jejaring ekonomi global. Karena itu antara satu negara dengan negara lainnya memiliki lingk atau keterkaitan ekonomi, sosial dan politik. Amerika bagi Indonesia, masih merupakan pasar ekspor utama, selain Eropa dan Jepang.
Kedua, Amerika merupakan sumber dana investasi langsung, khususnya disektor tambang, mineral dan energi. Sehingga mau tidak mau, krisis yang terjadi di USA memiliki keterkaitan dengan Indonesia.


Karena demikian posisinya, maka transaksi ekonomi dan kurs rupiah mengalami fluktuasi. Inflasi dan nilai tukar rupiah melemah di bursa. Barang-barang dalam negeri mengalami kenaikan harga. Sehingga terjadi gejolak ekonomi dan kekhawatiran banyak pihak tentang ancaman krisis yang lebih parah. Kenapa demikian? Karena industry-industri dalam negeri kita hampir semua berbasis impor. Sehingga bahan baku utama yang bersumber dari luar, juga naik, maka mau tidak mau harga harus diestimasi ulang.

Dalam perspektif pedesaan dan lebih spesifik ke pertanian. Sebenarnya melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USA, merupakan rezki tersendiri bagi petani. Pertama, kejadian ini merefleksikan betapa hancurnya fundamen ekonomi nasional kita. Apa sih artinya indikator makro ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat yang setiap hari disabdakan oleh pimpinan nasional kita?

Krisis ini kembali mengajarkan kita supaya kembalilah ke fitrah ekonomi nasional kita, yaitu ekonomi berbasis agraris dan bahari. Dalam perspektif marketing, sebenarnya kita tidak memiliki diferensiasi ekonomi yang jelas. Beda misalnya dengan Thailand, mereka sadar diri, bahwa core mereka adalah pertanian, sehingga mereka membangun negaranya berdasarkan kekhasannya, yaitu negara agraris. Buktinya, Thailand merupakan eksportir utama bagi produk-produk pangan dunia saat ini.

Cobalah lihat Indonesia kita, negara yang dikaruniai oleh Tuhan dengan tanah yang subur, air yang melimpah, sungai, gunung dan lautan. Tapi apa jadinya, Indonesia adalah pengimpor 90% bawang putih, susu 70%, garam 50%, kedelai 70%, gula 30%, daging sapi 25%, kacang tanah 15%, jagung 10% dan beras 2%. Secara sederhana misalnya, Indonesia adalah produsen terbesar TBS kelapa sawit. Tapi yang menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia adalah Singapore. Kenapa begitu? karena mereka punya pabrik, mereka punya industri agro. Kita tidak, Indonesia sudah merasa cukup menjadi produsen 1 yang tidak memiliki nilai tambah sama sekali. Kita ini hobi impor.

Pelajaran kedua saya kira adalah, dari sudut pandang pedesaan, krisis ini menguntungkan bagi petani dengan produk-produk ekspor. Ini mengingatkan kita kembali pada peristiwa 1998, ketika semua orang mengeluh, petani dan nelayan tenang-tenang saja, karena mereka memproduksi bahan ekspor.

Kembalilah ke fitrah ekonomi nasional kita yang berbasis agro. Saya kira Tuhan memberi kita tanah yang subur, air yang cukup, dan sebagainya. Bukan untuk menjadi negara industri berat, kita sesungguhnya ditakdirkan untuk menjadi negara industri agro yang menjadi suplayer bagi negara-negara yang secara agrosistem tidak memungkinkan untuk berproduksi.

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter