Catatan Pemikiran dan Refleksi

Wednesday, December 30, 2009

Posted by dg situru' | Wednesday, December 30, 2009 | No comments

Suasana amat santai penuh dengan kegembiraan sore itu. Selasa, 21 september 2008. Di gedung yang berperawakan tua, dimana Ahmad Dahlan mengembangkan gerakannya, Muhammadiyah. Gedung tua yang selama ini mungkin sangar ditengah ketuaan bangunannya. Sebagai gedung yang terletak dipinggir jalan, maka selalu banyak abang becak yang mangkal di depannya. Mereka tidur di atas becak, siang dan malam. Andai Ahmad Dahlan masih hidup ia akan menangis melihat mereka.

Mungkin Ahmad Dahlan boleh mati. Tapi semngatnya, cita-citanya tidak boleh padam. Kegiatan nead assesment dan fasilitasi kelompok pengemudi becak sore itu seakan membuatnya sumringah. Ia menemui anak-anak cucunya tengah melaksanakan misi yang dulu juga pernah ia laksanakan dipusat keraton, Yogyakarta.


Sebagai aktivis muda Muhammadiyah, tepatnya Ikatan Remaja Muhammadiyah saya merasa menemukan sebuah tantangan baru. Diriku yang selama ini mendalami teori-teori pendidikan Freire dan pelatihan-pelatihan dengan model orang dewasa kini menemukan realitas yang sangat unik. Realitas pengemudi becak dan kesederhanaan keluarganya.

Pengalaman memfasilitasi komunitas pelajar, mahasiswa dan petani kapas cukup memberiku sesuatu yang berarti. Walaupun dari masing-masing mereka memiliki karakteristik dan keunikannya masing-masing. Aku dipercaya memfasilitasi analisa masalah dan harapan mereka. Alhamdulillah berkat pengalaman-pengalaman diatas, diriku tidak kikuk dan bisa dilalui dengan baik. Kendati pun aku mengalami kendala bahasa yang amat terasa. Tapi beruntunglah ada bahasa Indonesia. Sebagai sumbangan terbesar orang Riau, tutur Buya Syafii Ma'arif suatu ketika.

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter