Oleh: Masmulyadi
“Agama adalah sebuah ikhtiar mencari jalan bagaimana mendamaikan diri kita dengan fakta-fakta dahsyat tentang hidup dan mati” (A. Syafii Maarif)
“Tugas kita sebagai intelektual adalah menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan kita sendiri” (Alm. Mansour Faqih)
Spirit “Al-Ma’un”; Sebuah Pengantar
Kita tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa ini. Berbagai bentuk kejahatan, manipulasi, korupsi dan kecurangan serta k..... yang lain telah menjadi kebudayaan akut yang membutuhkan rentang masa panjang untuk mengurainya menjadi (to be) baik. Penggusuran tanah kaum miskin yang terjadi hampir tiap saat ditayangkan di TV dengan dalih “pembangunan untuk kepentingan umum”. Padahal yang dibangun adalah jalan TOL untuk kepentingan pemilik mobil kijang Krista atau Volfo.
Dibagian lain puluhan anak jalanan harus merelakan dan menukar masa indahnya dengan menjadi peminta-minta di pertigaan jalan atau di lampu merah, menjadi pemulung dari satu tempat sampah ketempat sampah yang lain. Nun jauh disana sekelompok orang Islam memakan saudaranya sendiri dengan dalih “Sesat”. Dan beragam problem ekologis kemanusiaan yang membuat kita miris. Sampai–sampai suatu ketika buya A. Syafii Maarif mengatakan bahwa “seandainya ada perintah dalam Al-Qur’an yang mengajarkan kita pesimis melihat Indonesia ini, maka sayalah orang pertama yang akan pesimis”1.
Dalam kondisi dan keadaan seperti diataslah, K.H. Ahmad Dahlan2 mendirikan Muhammadiyah. Kiyai dalam keadaan yang gelisah, resah dan “geli” melihat realitas zamannya. Dengan kesadaran doktrin sosial Islam yang mendalam seperti itulah, founding father Muhammadiyah ini tegerak kesadarannya untuk berbuat demi kemaslahatan ummat. Kiyai sepenuhnya sadar bahwa Islam tidak semata-mata menekankan ritual dalam menghubungkan diri dengan tuhan-Nya. Ada jalan lain yang setiap orang bisa untuk melakukannya. Jalan yang dimaksudkan adalah hubungan sosial. Atau dalam term wahyu dikatakan hablum minannas. Hubungan kemanusiaan.
Sebagai organisasi sayap “kiri” Muhammadiyah dalam membina dan mencerdaskan ummat remaja, maka IRM mau tidak mau harus merujuk pada profil K.H. Ahmad Dahlan. Sebuah komparasi ideal yang mampu menghubungkan doktrin otentisitas wahyu dengan realitas kesejarahannya. Sehingga kehadiran IRM tidak ditelan bumi tetapi menjadi spirit bagi munculnya generasi baru yang Ulul Albab.3 Generasi yang cerdas, gaul dan tidak ketinggalan zaman. Generasi yang “nakal” dalam pemikiran, “liar” dalam tingkah laku dan Gesit dalam kompetisi. Sehingga tidak mudah terkooptasi oleh siapapun dan atas nama apapun. Yaitu sebuah cita tentang kebebasan etik.
Kelebihan Kiayai Dahlan adalah ketika dia mampu membawa cita ideal Islam kewilayah real. Bagaimana cita ideal islam itu? Dalam pandangan Kuntowijoyo–budayawan Yogyakarta–cita-cita ideal Islam adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapi suatu pertanyaan pokok, yakni bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang menuju kepada keadaan yang lebih tepat dengan keadaan idealnya.4 Karena itu Islam sangat berkepentingan dengan realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami tetapi juga bagaimana mengubahnya.
Melacak Akar Gerakan Kritis-Transformatif di Indonesia
Islam transformatif merupakan salah satu corak paham ke-Islaman yang muncul sebagai respon terhadap keberadaan ajaran Islam yang seolah-olah kurang terlibat dalam menjawab berbagai masalah yang aktual. Islam terkesan hanya digunaka sebagai legitimasi terhadap kesalehan individual dan tidak diwujudkan dalam konteks kesalehen sosial. Dalam hubungan ini Islam hanya digunakan sebatas urusan hubungan manusia dengan Tuhan, dan tidak terlibat dalam urusan hubungan manusia dengan alam, lingkungan sosial, dan berbagai problema kehidupan yang semakin kompleks dan penuh tantangan.
Menurut Abuddin Nata5 ciri-ciri Islam Transformatif adalah; Pertama, Islam transformatif selalu berorientasi pada upaya mewujudkan cita-cita Islam, yaitu membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya : 107) Kedua, mengupayakan adanya keseimbangan antara pelaksanaan aturan-aturan yang bersifat formalistik dan simbolis dengan missi ajaran Islam tersebut. Bahkan jika suatu aturan formalistik atau simbolik tersebut terlihat menghambat pencapaian tujuan, maka aturan formalistik atau simbolik tersebut harus diubah, atau diberi makna baru yang sesuai dengan tujuan.
Ketiga, mewujudkan cita-cita Islam, khususnya keberpihakan terhadap kaum lemah dalam mengangkat derajat kaum dhu’afa atau orang-orang yang tertindas, dan juga diarahkan kepada penegakan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, sopan santun, kejujuran dan keihlasan. Menegakkan nilai-nilai demokratis seperti kesetaraan (egaliter), kesamaan kedudukan (equality), dan sebagainya. Keempat, senantiasa memiliki concern dan respons terhadap berbagai masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat.
Mengamati kriteria Islam Transformatif sebagaimana dikemukakan oleh Nata (2001), maka dapat dikatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah adalah juga sebagai respon dan pemahaman “Kritis-Transformatif” K.H. Ahmad Dahlan atas kondisi zamannya yang begitu krusial dengan proses yang tidak manusiawi seperti penindasan struktural yang dilakukan oleh penjajah kolonial Belanda lewat VOCnya.
Hal yang sama juga terjadi di IRM, bahwa IRM hadir dan lahir bukan dari ruang hampa. Ada proses sejarah yang melingkupi kelahirannya. Ini perlu dipahamkan kepada kader-kader supaya kita tidak ahistory dalam memaknai kehadiran IRM. IRM lahir dari dialektika sosial khususnya yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Bagaimana lingkungan tahun 1960-an? Dalam pengantarnya di buku “Post Islam Liberal” Kuntowijoyo menjelaskan bahwa periode 1960-an adalah merupakan fase ideologi.6 Fase ini dicirikan dengan berdirinya Syarekat Islam. SI dengan mobilitas tokoh-tokohnya mencitrakan diri sebagai kekuatan ideologis yang ‘membahayakan’ sehingga pemerintah kolonial melakukan upaya-upaya agar aktivitas SI tidak meluas. Bahkan pertentangan-pertentangan ini meluas sampai ke masa orde lama. Lahirnya Masyumi sebagai representasi partai politik umat Islam yang memperhadap hadapkan umat Islam dengan pemerintahan Soekarno.
Dalam periodesasi ideologis inilah IRM lahir. Sehingga performa yang ditampilkan IRM pada masa awal adalah performa yang militan dan relatif “fundamental”. Sebab ada lawan ideologis, ada common sense. Apa lawan ideologis IRM dan penggiat Islam ketika itu adalah gagasan “komunis”. Sehingga performa yang ditampilkan IRM pada waktu itu adalah benar dan bisa kita mahfum. Sekarang pertanyaannya adalah apa yang harus dijadikan musuh bagi kita sekarang?, ini penting dielaborasi lebih mendalam.
IRM Dipusaran Pemikiran Keagamaan,
Bagaiamana Bersikap
Memasuki era industrial dan budaya globalisasi, maka yang paling terkena imbasnya adalah kehidupan keagamaan termasuk didalamnya Ikatan Remaja Muhammadiyah. Banyak corak keagamaan yang muncul kepermukaan, sebutlah diantaranya modernisme, fundamentalisme dan liberalisme. Bila kita menyimak bagaimana gaya pakaian atau rambut dikalangan dunia mode yang terus menerus berubah, dan kadangkala gaya perubahan itu set-back kepada gaya tahun-tahun sebelumnya, maka demikian juga dalam dunia pemikiran keagamaan.
Mode atau trend pasti akan lewat begitu saja ketika orang sudah jenuh atau ada trend baru yang muncul. Misalnya mode Hollywood tahun 1940-an yang menonjolkan warna-warna redup seperti merah gelap atau abu-abu kehitaman. Mode atau trend adalah bentuk pencitraan diri. Dan mereka yang selalu sibuk dengan citra diri hanyalah segelintir orang. Demikian juga dalam dunia pemikiran. Citra diri sebagai seorang muslim berfikir liberal dan modern misalnya hanyalah kebutuhan mereka yang sudah berfikir fungsional seperti itu. Sementara umat Islam kebanyakan bengong atau seperti kata Gus Dur “emang gua pikirin” (EGP).
Pada masa awal Orde Baru, kaum intelektual sibuk dengan pemikiran Islam dan modernitas atau Islam dan Pembangunan. Menjelang tumbangnya rezim otoriter Soeharto, muncul Islam dan Postmodernisme, Islam dan Civil Society, Kiri Islam. Kini ada lagi yang begitu bangga dengan sebutan Islam Liberal. Nanti pada era kedepan akan muncul Neo-Liberalisme atau Islam Neo-Liberal. Itulah mode dan bentuk pencitraan yang latah menjadi kebanggaan kaum terdidik.
Agar inovasi dan diversifikasi produk gagasan tidak terhenti, maka dibuatlah semacam apa yang disebut sebagai policing of the risk society. Yaitu, dibangun berbagai bentuk – sebut saja – “teror” terhadap masyarakat, sehingga masyarakat mau menerima gagasan atau institusi dari pembuat “teror” itu. Kelompok yang disebut fundamentalis membuat teror tentang bahaya sekularisme, devaluasi agama, materialisme atau komunis. Dengan teror ini, masyarakat diajak untuk ‘kembali ke syariat agama’.
Sementara kelompok yang menyebut diri liberal atau modern menyebar teror tentang bahaya radikalisme agama, fundamentalisme, sentralisme, otoritarianisme agama, atau militansi. Seminar pelatihan dan penelitian perlu diadakan untuk meyakinkan tentang ancaman terhadap masyarakat itu. Dengan begitu masyarakat dipaksa untuk menerima nilai-nilai liberal dan secara perlahan meninggalkan akar kepercayaan dan kebudayaannya sendiri (indegenous cummunity).
Semakin jauh masyarakat dari budaya dan institusi lokal, maka semakin mudah mereka “dikendalikan” dan diarahkan menuju kedalam sebuah bentuk masyarakat yang terus menerus memuja “citra”. Dan jadilah dunia dalam apa yang disebut sebagai global monoculture : hanya ada satu pusat, yaitu kebudayaan liberal, cara berfikir liberal, ekonomi liberal, politik liberal sampai pada gaya hidup liberal. Di luar yang liberal adalah “pinggiran” atau “penyimpangan” atau “keterbelakangan”. Sebuah sistem hegemonik7 yang dikendalikan sepenuhnya oleh mereka yang memiliki uang, senjata, teknologi dan informasi. Tetapi kondisi diatas adalah salah satu dimensi atau effect dari semaraknya pasar pemikiran, yang mungkin kondisi tersebut tidak diharapkan karena tidak mungkin mendorong transformasi masyarakat atau ummat Islam.
Nah dalam kegalauan nilai, campur aduknya budaya, bursa pemikiran keagamaan yang semakin marak tersebut bagaimana IRM bersikap? Barangkali tawaran keagamaan kita adalah bagaimana spirit ummatan wasatan harus menjadi landasan yang mesti kita kedepangkan. Ajaran tersebut menyiratkan kepada kita semua tentang pentingnya keseimbangan. Bukankah Islam sangat mengajarkan perlunya untuk seimbang. Seimbang dalam banyak hal.
IRM sebagai Gerakan Kritis-Transformatif
Jargon ‘kritis – transformatif’ menyeruak kejagak pentas gerakan sosial tidak terlepas dari kondisi kekinian yang menerpa bangsa Indonesia. Kalau kita rujuk, maka umumnya para penggagasnya adalah aktivis LSM/NGOs yang memiliki latar belakang pemahaman keagamaan yang relatif modern. Tengoklah misalnya Moeslim Abdurrahman, Mansour Faqih, Kuntowijoyo dan M. Dawam Raharjo ataupun juga Amien Rais dengan gagasan tauhid sosialnya. Merekalah yang menjadi motor penggeraknya.
Di IRM jargon ini secara organisatoris dipandang sebagai upaya untuk mengatasi kebuntuan dan upaya sadar IRM untuk mencoba menghadirkan gerakan IRM kewilayah real yang mampu bermain dizamannya dengan pementasan yang indah. Sebuah pementasan dikatan indah dan menarik ketika yang memberikan penilaian itu adalah publik. Maka pada perspektif ini publik IRM adalah remaja. Dalam pandangan IRM remaja adalah mereka yang berumur 14 – 24 tahun, karena pada wilayah umur itulah remaja relatif berada pada fase taransisional dalam kehidupannya. Sehingga remaja terkadang dipandang remah oleh orang lain. Padahal belum tentu. Banyak penemuan-penemuan spektakuler justru lahir dalam umur demikian, bagaimana Rasulullah Muhammad Saw, Thomas Alfa Edison dan banyak yang lain. Mereka adalah penarik gerbong perubahan.
Dengan demikian IRM harus tampil kewilayah publik dengan tanggung jawab kebudayaan untuk mendorong transformasi kebudayaan menuju hikmah (kebijaksanaan, kearifan dan keluhuran). IRM harus tampil dalam zamannya dengan menjadi katalisator proses perubahan, bukan menjadi penghalang lahirnya perubahan. Atau dengan kata lain membumikan cita-cita budaya IRM dalam kesejarahannya di muka bumi ini. Untuk itu ada tiga agenda IRM kedepan dalam kaitannya dengan upaya mengukuhkan tradisi “kritis-transformatif” tersebut :
1. Transendensi (Tu’minuna Billah)
Kata kerja transcend, yang darinya kata transendental diambil, berasal dari bahasa latin transcendere yang artinya memanjat di/ke atas. Dari lima arti dalam Webster’s New International Dictionary yang dekat dengan keperluan kita ialah transendental dengan makna “abstrak, metafisis” dan “melampaui”.
Transendensi seperti dalam tradisi Nabi Ibrahim merupakan kunci bagi penyelamatan manusia modern. Teknologi, ilmu dan manajemen memang membawa kemajuan tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern.
Disinilah pentingnya kesadaran nilai-nilai ilahiah (ma’ruf, munkar dan iman). Nilai-nilai inilah yang menjadi tumpuan aktivisme IRM. Rujukan normatifnya bisa ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2) : 110 “Kuntum khaira ummah ukhrijat linnasi ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna’anil mungkar wa tu’minuna billahi.” (kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyeruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah). Ada empat hal yang tersirat dalam makna ayat tersebut, yaitu (1) konsepsi tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran dan (4) etika profetik. Dalam pandangan Kuntowijoyo8 agar ummat Islam menjadi ummat terbaik ada tiga hal yang harus dilakukan : Pertama, ta’muruna bilma’ruf, Kedua, tanhauna anil mungkar, dan Ketiga, tu’minuna billah.
Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme dan budaya yang dekadan. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.
2. Humanisasi (Ta’muruna Bil Ma’ruf)
Ketika diturungkan dalam konteks zamannya, Islam pada dasarnya merupakan gerakan spiritual, moral, budaya, politik serta sistem ekonomi alternatif. Tentu saja ‘alternatif ‘ dalam sistem dan budaya Arab klasik yang waktu itu tengah mengalami pembusukan dan proses dehumanisasi. Islam (di)lahir(kan) sebagai agama rakyat (suatu komunitas yang sering tertindas-mustad’afin), bukan agama penguasa. Ia harus bergerak dan digerakkan demi, oleh dan untuk rakyat mayoritas. Ia menjadi agama humanis yang menentang agama struktur otoritarian.
Di alam modern saat ini dehumanisasi terjadi dalam multi bentuk. Penyebabnya antara lain karena dipakainya teknologi (baik berupa alat-alat fisik maupun metode) dalam masyarakat. Jacques Ellul (1964) dalam Kuntowijoyo (2004) menulis sebuah buku The Technological Society untuk menjelaskan betapa jauh teknologi itu dalam kehidupan. Teknologi kemudian menjadi dewa dan pusat sesuatu. Perilaku-perilaku kekerasan yang bernuansa etnik dan agama serta kriminalitas menjadi potret proses dehumanisasi bangsa saat ini. Tidak heran kemudian kemunculan postmodernisme sebagai perlawanan atas modernisme yang menampilkan diri dengan model yang kebeblasan.
Dalam kondisi demikian Al-Qur’an mengatakan bahwa pada awalnya manusia itu hanif (sebaik-baik mungkin). Akan tetapi karena proses sejarah lalu kemudian manusia mengalami apa yang disebut dengan “tsumma radadnaa hu asfala safilin” (kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya). Dalam ayat tersebut dikecualikan ; (1) “illalillazina aamanu” (orang-orang yang beriman), (2) “wa amilussalihati” (mengerjakan amal shaleh). Aktifitas kemanusiaan yang tidak etik itulah yang menyebabkan manusia terjungkal kedalam lembah kehinaan (dehumanisasi) sehingga kehilangan kemanusiaannya. Untuk itu usaha mengangkat kembali martabat kemanusiaan manusia (emansipasi) atau humanizing sangat diperlukan. Tujuannya adalah memenusiakan manusia.
Pada titik ini apresiasi yang harus IRM berikan kepada realitas masanya adalah bagaimana IRM kemudian menciptakan kebudayaan dengan membangun kultur kebajikan, keindahan hati, interaksi sosial yang menjamin rasa aman, kemanusiaan (humanis) dan perdamaian (peace) sebagai maenstrem utamanya. Ayat-ayat pendidikan (QS. Al-Alaq (96) : 1-5 ), kesehatan (QS As-Syuara (26) : 80) dan perlakuan terhadap anak yatim piatu (QS. Al-Ma;un (107) : 1-7) merupakan ayat-ayat kemanusiaan yang menjadi kajian kritis generasi awal Muhammadiyah. Dalam tanfidz Muktamar XIII di Yogyakarta mengenai Khittah Perjuangan IRM dengan jelas disebutkan bagaimana bahwa prinsip pemanusiaan itu memiliki dua akar potensi yang terdapat dalam diri manusia. Pertama, kebudayaan dan kedua, peradaban.
Makna kebudayaan adalah kemampuan diri yang dicapai dengan pertumbuhan, sedangkan makna peradaban adalah kekuasaan atas alam dengan menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, kota dan negara. Sebab peradaban merupakan kelanjutan atas kemajuan teknis, yaitu kelanjutan dari unsur-unsur alam yang menunjukkan kekuatan potensial yang sebenarnya sudah ada pada leluhur kita dimasa lampau. Peradaban memberi pendidikan sedangkan kebudayaan memberi pencerahan. Yang satu dituntut melalui proses belajar dan yang satu dituntut melalui proses perenungan, refleksi, kontemplasi dan meditasi.
Untuk itu sebagai bagian dari Muhammadiyah, maka yang harus dilakukan IRM adalah kultur saling menyantuni, ‘saling menyayangi’ dan memiliki sense of social yang tinggi. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila lahir pemikiran, pandangan dan pemaknaan yang mendalam terhadap teks Al-Qur’an berkenaan dengan cita-cita sosial Islam. Disinilah IRM diharapkan menggeser paradigmanya mengenai kesalehan dari kesalehan individual kepada kesalehan sosial. Dari struktural ke kultural. Dari mitos kelogos dan dari simbol kesubstansi.
3. Liberasi (Tanhauna Anil Mungkar)
Ajaran mengenai tanhauna anil mungkar adalah merupakan focus teologicus Islam. Dan inilah yang oleh Ali Syari’ati disebut dapat membedakan antara nabi Islam dengan nabi diluar Islam. Hassan Hanafi (2001) menggambarkan bahwa jika Ibrahim merupakan cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala; Nabi Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme dan Nabi Isa adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme; maka Nabi Muhammad Saw merupakan tauladan kaum papa, hamba sahaya dan komunitas tertindas berhadapan dengan konglomerat, elit Quraisy dan gembong-gembongnya dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih sayang, persaudaraan dan egaliter.
Ajaran fundamental Islam sebagai kerangka epistemologi pemihakan Islam terhadap kaum lemah adalah tauhid. Dalam islam konsep tauhid merupakan konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan tak lain kecuali menyembah kepada Tuhan.9
Oleh karena itu ide tauhid ini sejak awal telah menjadi dasar fundamental dalam menciptakan tata sosial yang etis (berlandaskan moral), egalitarian dan berkeadilan, khususnya dalam mengeliminir praktek keagamaan politheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan serta ketidakadaan tanggungjawab sosial. Dengan demikian, seperti dikemukakan Asghor Engineer, doktrin tauhid tidak hanya mempunyai konsekuensi religius, tetapi juga mempunyai implikasi sosio-ekonomi.
Ali Syariati menyebutkan bahwa tauhid dalam Islam merupakan suatu pandangan dunia, yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme, dan aristokrasi.
Dalam pengertian ini tauhid, faham tauhid selalu terkait dengan prinsip kemanusiaan, rasa keadilan sosial dan ekonomi yang harus diwujudkan dalam kehidupan kongkrit bermasyarakat. Dalam bahasa filsafat parennial, bahwa komitmen imani sebagai respon terhadap sapaan kasih Tuhan yang berpusat dari pemahaman dan keyakinan Ketuhanan Yang Esa (Tauhid), harus selalu melangkah dan bergerak pada tahapan praksis untuk melayani manusia sebagai sesama hamba Tuhan. Dengan ungkapan lain, tauhid atau perjalanan iman yang bermula dari pengetahuan dan keyakinan terhadap Tuhan selalu dan harus bergerak kemuara kehidupan kongkrit berupa amal kebajikan.
Rangkaian tauhid adalah paham tertentu tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid (mengimani ke-Maha Esa-an Tuhan) adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau seharusnya membawa implikasi pada ; Pertama, pencerahan. IRM sebagai organisasi atau pergerakan diarahkan dan dibentuk dalam kerangka tauhid sebagai upaya penyadaran terhadap nilai eksistensi manusia, menjadi pengingat dan pembangkit motivasi insaniah, serta mengasah dan mencerahkan naluri gaib cinta kasih yang tersembunyi pada manusia (QS Al-Alaq : 1-5).
Kedua, pembebasan. Syahadah (Asyadu’allah Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah) dalam kerangka berfikir muslim merupakan pernyataan yang bermula dengan menafikan lalu dititik puncaknya adalah penisbahan (laa ilaa ha illallah). Pemaknaan terhadap syahadah tersebut mewujud dalam gerakan membebaskan manusia lewat Tuhan. Ketika terbakar oleh api ilahi, kita kembali dan memasuki putaran waktu dan mewarnai jalannya sejarah, mengubah suatu dunia baru yang membebaskan (QS At-Taubah: 129).
Ketiga, kesemestaan/universality. Sebagai gerakan sosial religius merupakan keniscayaan untuk selalu berada dan bergerak dalam komunitas masyarakatnya. Komunitas masyarakat dalam pandangan dunia tauhid adalah merupakan locus kepedulian, keprihatinan dan pengabdian kepada Tuhan. Dengan demikian kesemestaan bermakna bahwa Ikatan Remaja Muhammadiyah bergerak dalam setting sosial yang unipolar dan menolak dikotomi orientasi pemanusiaan (QS : An-Nisa ; 1)
Karena itu anak-anak IRM perlu menumbuhkan sikap beragama yang kritis-transformatif menjadikan landasan tauhid sebagai spirit pergerakan dan menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk tirani dan seabrak ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran sebagai pemaknaan kreatif terhadap fungsi kehadiran manusia sebagai khalifah. Tujuan liberasi (tanhauna anil mungkar) adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, eksploitasi, keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan dan ketidakadilan distribusi.
Penutup
Berdasarkan serangkaian pemaparan diatas, maka kritis-transformatif adalah aktualnya tata nilai ketuhanan (Rabbaniyah), yang menjiwai terhadap seluruh aktivitas kemanusiaan yang berdasarkan kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan akan menuju Tuhan (Q.S. Al-Baqarah (2):156), Inna lillahi wa inna ilahi raaji’un (sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya), maka Allah adalah asal dan tujuan hidup tempat kembali segala sesuatu/mahluk.
Dipenghujung makalah ini saya mengutip pernyataan Muhammad Iqbal dalam Kuntowijoyo (2004) ketika memberikan komentarnya mengenai mi’raj Nabi Muhammad bahwa katanya “seandainya Nabi adalah seorang mistikus atau sufi, tentu Nabi tidak akan kembali lagi kebumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya”. Tetapi lanjut Iqbal “Nabi kembali kebumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah”. Apa yang saya ingin katakan bahwa IRM tidak sekedar memiliki nafsu terhadap perubahan sosial, akan tetapi bagaimana IRM tampil menjadi pengawal perubahan, menjadi aktivisme sejarah Wallahu A’lam Bisshawab.
Nun Walqalami Wama Yasthuruun
Bacan Bacaan
Faqih, Mansour. 2002. Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik. Insist Press. Yogyakarta.
Khozim. 2004. Menggugat Pendidikan Muhammadiyah. UMM Press. Malang.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Mizan. Bandung.
____________. 2004. Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika. Teraju Mizan, Bandung.
Nata, Abuddin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta.
Pribadi, Airlangga dan M. Yudhi R. Haryanto. 2003. Post Islam Liberal, Membangun Dentum Mentradisikan Eksperimentasi. Gugus Press. Bekasi.
Zakiyuddin Baidhawy, “Membangun Kerangka Ilmu-Ilmu Sosial Islam; Sebuah Pengenalan Awal”, dalam akademika, No. 01/Th.XV/1997, hal 37-50.
Tanfidz Keputusan Muktamar XIII Ikatan Remaja Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2002.
Pedoman Advokasi Ikatan Remaja Muhammadiyah Sulawesi Selatan.